“Pernikahan yang berhasil membutuhkan jatuh cinta beberapa kali dengan orang yang sama.”..Mignon McLaughlin (Reader’s Digest Indonesia)
Baru-baru ini saya baca di majalah yang memuat kuesioner di rubrik Sex and Relationship. Isinya kurang lebih petanyaan-pertanyaan seperti berikut ini. Kapan terakhir kali anda mengatakan ‘Aku kangen kamu’, ‘Aku tuh sayang banget deh sama kamu’, “ Aku merasa sangat beruntung memiliki kamu”, berjalan bergandengan tangan, mencium keningnya atau merangkul pasangan, pergi berlibur berdua saja, ngobrol santai tentang rencana masa tua nanti, chatting mesra, tertawa terpingkal-pingkal, kapan terakhir kali anda bercinta bersama pasangan yang sudah bertahun-tahun menemani anda?
Hati saya langsung ciut karena urusan intimacy seperti poin-poin kuesioner itu terasa begitu menyentil. Nampaknya sepele, tapi banyak pasangan yang sudah tidak melakukannya lagi. Hubungan menjadi tawar dan semua berjalan seperti robot yang sudah terprogram dengan rutinitas harian. Hari demi hari berlalu, seminggu, sebulan, setahun, tidak terasa kita sudah hidup bersama dengan orang yang sama belasan tahun bahkan puluhan tahun, tapi koq malah makin asing satu sama lain? Ini fenomena nyata yang banyak saya lihat dan dengar dari curhat teman-teman. Pasangan yang makin mesra dan tetap lengket seperti perangko, bisa dihitung dengan jari. Tidak perlu kalkulator untuk menjumlahkannya karena jumlahnya hanya segelintir.
Pentingkah Jatuh Cinta Lagi Pada Orang Yang Sama?
Mengapa ada cinta yang awet sampai kakek nenek, hingga dipisahkan oleh kematian, namun ada juga yang kandas di tengah jalan? Mengutip pendapat Samuel Mulia, cinta itu melahirkan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, melahirkan energi yang besar sehingga hubungan tetap berjalan meskipun rintangan selalu ada. Kemungkinan kedua, energi yang ditimbulkan kecil, tidak mampu menopang hubungan dan tidak tahan banting, akibatnya hubungan kandas. Yang mengandaskan sebenarnya bukan cinta itu semata, tapi kondisi yang mengeringkan suasana percintaan itu yang membuat percikan cinta menjadi padam. Lupa mengapa dulu aku jatuh cinta padanya, apa yang membuat aku mau memilih dia untuk berbagi mimpi sepanjang jalan kehidupan. Lupa pada manisnya cinta awal.
Cinta itu sebenarnya suatu perasaan yang ‘hidup’, yang bisa ‘capek’ dan ‘layu’ jika dibiarkan begitu saja tanpa ada usaha memupuk dan menyiram. Jadi bukan tipe ‘auto pilot’ yang sekali cinta akan tetap cinta tanpa perlu diapa-apakan lagi. Cinta butuh diisi ulang dan recharging, karena kondisi berubah, baik fisik, finansial, maupun lingkup pergaulan. Setiap fase kehidupan mempertemukan kita dengan orang lain dan mungkin saja akan ada percikan-percikan chemistry jika frekuensi dan resonansinya pas. Nah, jika ikatan emosional dengan pasangan mulai melemah, low battery istilahnya dalam dunia gadget, celah hati bisa jadi terisi oleh orang lain. Akan timbul ‘rasa’ dan attachment dengan orang itu. Akibatnya bisa menjadi cerita bersambung…
Inilah pentingnya mengapa kita harus berusaha tetap menghidupkan percikan cinta itu. Jatuh cintalah lagi dan lagi pada pada orang yang sama, pada orang yang dulu membuat debur jantung ga karuan, yang mampu membuat kita mengatakan ‘Yes’ ketika dia melamar, yang bersedia menjadi partner kita untuk berbagi mimpi dan harapan, sebelum anda atau dia akhirnya memilih pindah ke lain hati.
Bagaimana Jatuh Cinta Pada Orang Yang Sama?
‘Don’t Sweat The Small Stuffs’
Dulu pada awal hubungan, semua terasa masih manis, ditegur ataupun dikritik oleh pasangan, anda tidak tersinggung ataupun marah. Bener ga? Namun, setelah hidup bersama sekian tahun, timbul rasa jemu dan bosan, kadar toleransi menipis dan mulai gerah jika pasangan melontarkan kritik atau teguran untuk hal sepele sekalipun. Gundah dan kesal menumpuk di dada. Jadinya malas ngobrol dengan pasangan, tidak ada lagi sharing kejadian sehari-hari, rasanya lebih asik pergi dengan teman daripada ditemani si dia, tidak ada lagi keintiman, bahkan pegangan tanganpun terasa canggung, seperti disentuh tangan orang yang baru kenal. Pokoknya aneh dan risih jadinya. Rasa cintapun entah sudah menguap ke mana.
Seperti cerita teman saya. Kaus kaki bekas yang tiap hari asal dilemparkan ke ember kecil dalam keadaan terbalik, selalu lupa mematikan lampu kamar mandi jika sudah selesai menggunakan, tidak melap wastafel yang basah. Hal-hal kecil seperti ini selalu memicu rasa kesal dan wajahpun jadi cemberut. Tapi, beberapa waktu kemudian, dia mencoba menetralkan rasa kesal dan memandang hal sepele itu dari sisi lain. Katanya: “Aku pikir-pikir, suamiku ga pernah mempermasalahkan kalau aku lupa menggantungkan kunci di belakang pintu, parkir tidak rapi di garasi, dan sebagainya. Dia dengan sabar membetulkan posisi parkir kendaraanku, mengisikan bensin, membersihkan halaman depan, tanpa mengomel panjang lebar. Kenapa aku koq sebel sampai selangit tiap kali dia lupa ini itu?”
Mengapa kita mempermasalahkan setiap kelalaian kecil yang dia lakukan? Mengomel panjang lebar dan cemberut seharian hanya karena si dia lupa menggantung handuk sehabis mandi di jemuran? Pasti ada hal-hal atau kelalaian kita yang mungkin kurang sreg di hatinya, tapi pasangan bisa menerima, tidak protes atau pakai acara kesal- kesal. Apa salahnya jika kita membantunya membalikkan kaus kaki kotor, merapikan pakaiannya di lemari, menutup botol kecap atau mendorong laci yang lupa ditutup dan hal-hal kecil lainnya. Lakukan saja atas nama cinta. Dulu bisa, mengapa sekarang tidak? Toh melakukan itu tidak mengambil setengah hari kita.
Mood yang baik, dalam sekejap dapat rusak hanya karena hal kecil. Untuk mengembalikan mood yang jelek dan rusak itu menjadi kembali normal, butuh waktu dan energi yang banyak. Bisa dibayangkan, berapa banyak waktu dan kegiatan positif yang hilang dengan sia-sia karena awan mendung meredupkan suasana hati. Nampaknya sepele, tapi itulah yang sering kita alami. Suasana hangat yang sudah terbangun, tiba-tiba menjadi kacau.
Ekspresikan Isi Hatimu
Entah sudah berapa banyak teman yang curhat soal pasangannya yang terlalu cuek dan tidak romantis, tidak bisa mesra ngomongnya, terlalu jaim (jaga image) apalagi di depan umum. “Tau ga Li, aku dan suamiku itu seperti rekan kantor deh. Ngomong serba formal, ga ada romantisnya.” Wah, saya bisa membayangkan bagaimana suasananya jika dikatakan seperti rekan kantor dan gaya bicaranya datar dan tanpa ekspresi.
Memang akhirnya ujung-ujungnya bermuara pada pentingnya menjaga komunikasi. Mulai dari hal ringan seperti misalnya tadi pagi dalam perjalanan ke kantor, ada truk mogok dan macetnya sampai 3 km, sampai hal yang serius soal rencana investasi atau sekolah anak. Meskipun kadang memang bosan mendengarkan cerita yang itu-itu saja, tapi lebih baik ada interaksi daripada aksi diam sepanjang hari. Jika terasa ada yang mengganjal di hati, katakanlah terus terang. “Yang, aku ga suka handuk basah asal disampirkan di kursi. Mbok ya langsung digantung di jemuran” Atau masalah pulang kantor dan makan atau tidak di rumah. “Kalau ada acara mendadak dan ga pulang makan, dikabarin ya, jadi ga ditungguin makan.” Minta maaf jika melakukan kesalahan. “Sori yang, aku tadi telat, tokonya dah tutup.” Jika rasanya kurang nyaman mengatakan secara langsung, cobalah ungkapkan dalam bentuk tulisan. Tulis memo kecil atau email.
Ketika hal-hal kecil rutin dipraktekkan, suatu saat ketika pasangan anda tidak berada di rumah, akan muncul rasa kehilangan dan rindu. Ada hal yang kurang. Rasa rindu inilah yang menjadi perekat hubungan dan pertanda bahwa kita membutuhkan kehadirannya dan akan memperkuat rasa cinta kita terhadap pasangan. Jadi, bangunlah selalu iklim yang hangat dan manis dengan pasangan, memupuk cinta agar senantiasa tumbuh ‘subur’ dan ‘segar’. Sering-seringlah ekspresikan isi hati dengan ucapan, tulisan atau bahasa tubuh ataupun buat kejutan-kejutan seperti membelikan coklat atau kirimkan message bertuliskan ‘Selamat bekerja, jangan terlambat makan siang.” pada jam istirahat kantor.
Terus terang, hati saya selalu berbunga-bunga setiap kali si dia mengatakan: “I love you” atau “Aku kangeennn banget ama kamu” meskipun kedengarannya gombal, namun tetap saja membuat hati meleleh. Ehemmmm…..