Nempel Terus?…Duh

Pada tulisan sebelumnya telah dibahas tentang perilaku lekat (attachment behavior) khususnya pada anak-anak. Ada kondisi attachment yang dianggap terlalu berlebihan, ‘ekstrim’, sehingga menjadi masalah karena mengganggu kegiatan sehari-hari. Seperti komentar seorang sahabat patahtumbuh dalam artikel terdahulu, ia sampai trauma menghadapi anak bungsunya yang luar biasa lekat padanya. Lengket kayak lem kayu, begitu ia mendeskripsikan.

Saya ingat seorang teman saya yang puteranya sangat lekat dengan dirinya ketika si anak duduk di TK. Kebetulan waktu itu puteranya satu kelas dengan putera bungsu saya jadi setiap hari kami bertemu di sekolah. Teman ini kerap bersembunyi ketika ada acara sekolah agar anaknya bisa mengikuti acara dengan teman-temannya. Selalu ada drama menangis, kadang kala sampai meraung-raung mencari ibunya. Ia ingin ibunya berdiri di dekatnya dalam acara apapun, termasuk ketika duduk dan belajar di kelas.

Kondisi ini disebut dengan istilah attachment disorder dan insecure attachment. Jika kita memiliki anak yang terlalu lekat, sehingga ke toiletpun ia harus diajak masuk, secara emosional akan terasa melelahkan. Anak merasa tidak aman jika tidak melihat kita barang sedetikpun.
Ada Apa di Balik Attachment Disorder?
Anak yang terlalu lekat dengan ibu atau pengasuh seringkali mengalami kesulitan untuk dekat dengan orang lain. Ia hanya lekat dengan orang yang menjadi figur lekatnya. Merasa takut dan tidak percaya jika bersama orang lain, gamang dan selalu cemas. Mengapa ada anak yang menempel terus dan ada yang mandiri dan dengan mudah bersosialisasi? Jawabannya ada pada proses terjadinya kelekatan itu, bagaimana interaksi si anak dengan ibu atau pengasuh utamanya pada awal perkembangannya.
Menurut para ahli, attachment disorder merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman negatif si anak pada masa pertumbuhan awal. Jika dulu si anak sering merasa diabaikan, kebutuhannya tidak terpenuhi, orang sekitar terlihat tidak peka akan dirinya, atau apapun alasannya, mereka akan mengambil kesimpulan bahwa orang lain tidak dapat diandalkan dan dunia luar itu menakutkan dan membahayakan dirinya.
Perilaku reaktif terjadi ketika anak merasa tidak mampu lagi menarik perhatian pengasuh utamanya. Beberapa kondisi berikut ini bisa menjadi pencetusnya:

  • Bayi menangis karena lapar atau popoknya basah namun tidak ada yang merespons dan mendekatinya. Dibiarkan terus menangis hingga berhenti dengan sendirinya.
  • Tidak ada orang yang mengajaknya bercengkrama, bermain atau memanggil namanya. Bayi merasa kesepian dan sendiri.
  • Anak hanya akan mendapat respons dari orang sekitarnya ketika ia memperlihatkan aksi yang ekstrim seperti berteriak, melempar barang, memukul teman, dan lain sebagainya.
  • Anak yang menjadi pendiam karena mengalami pelecehan atau diperlakukan kasar.
  • Dengan aksi yang tertentu kadang-kadang anak mendapatkan apa yang ia inginkan, tapi di lain kesempatan, ia tidak berhasil menarik perhatian. Anak jadi bingung, perilaku mana yang harus ia terapkan.
  • Lama dirawat di rumah sakit atau karena sesuatu hal anak harus dikarantina atau dipisahkan dari orang tua atau pengasuh utamanya.
  • Anak yang dipisahkan dari pengasuhnya dan diasuh oleh orang lain, seperti dalam kasus anak adopsi atau anak yang kehilangan orang tua.
  • Anak yang memiliki orang tua depresi atau sakit berkepanjangan sehingga tidak mampu memberikan perhatian yang cukup pada anak.

Hal ini bisa terjadi karena anak masih terlalu muda dan belum mengerti mengapa ia dipisahkan dari ibunya atau pengasuhnya dan harus diasuh oleh orang baru. Anak hanya merasa tidak ada yang memperdulikannya dan kesimpulannya: Dunia ini tidak aman.

Tanda-tanda Awal Attachment Disorder
Kondisi anak yang terlalu lekat bisa dikategorikan dari tingkat yang ringan hingga serius, yang disebut dengan reactive attachment disorder (RAD). Yang paling penting diperhatikan adalah tanda-tanda awal, bisa terlihat sejak masih bayi, seperti:
• Menghindari kontak mata langsung ketika diajak berbicara
• Tidak mau tersenyum
• Ketika hendak disentuh atau dipeluk, anak cenderung menghindar
• Atau ketika ia bersedia dipeluk, ia akan memeluk dengan kencang
• Tidak bereaksi ketika anda hendak menggendongnya misalnya tangannya tidak terjulur.
• Menolak dan memalingkan wajah ketika hendak ditenangkan
• Nampak tidak perduli ketika ditinggal sendiri
• Menangis
• Tidak mengeluarkan suara atau mencontoh suara aaaaa, uuuu, mammammam dan beberapa suara gumam bayi
• Pandangannya tidak mengikuti gerakan anda ketika beranjak dari depannya
• Tidak tertarik pada permainan interaktif atau yang menggunakan mainan
• Suka menggoyang-goyangkan tubuhnya dan asik dengan dirinya sendiri
• Suka melawan dan tidak patuh
• Tidak tertib dan suka bikin onar
Temper tantrum (‘ngamuk’, berteriak, guling-guling di lantai)
Tanda-tanda awal yang disebutkan di atas mirip dengan gejala anak yang mengalami ADHD (attention deficit and hyperactive disorder) dan autis. Jika anda menemukan beberapa gejala awal seperti ini pada anak, segera hubungi dokter anak atau profesional yang kompeten untuk mendapatkan diagnosis yang lebih tepat. Semakin awal dideteksi dan ditangani, anak akan menjadi lebih stabil dan mandiri sehingga tidak mengganggu tahapan perkembangan selanjutnya.
Tips Menghadapi Attachment Disorder
Menghadapi anak yang mengalami attachment disorder memang melelahkan secara emosional, timbul rasa frustrasi dan membuat diri kita menjadi sangat terikat pada kondisi anak.

  • Kunci utamanya tetap bersikap tenang namun tegas ketika menghadapi anak karena anak yang seperti ini telah mengalami banyak kejadian yang membuatnya stres dan cemas, jadi jangan tambahkan stes anak dengan memperlihatkan anda juga stres. Kendalikan stres diri sendiri terlebih dahulu sebelum membantu anak. Tunjukkan pada anak bahwa emosi dapat dikontrol.
  • Hal utama pada anak yang mengalami attachment disorder adalah soal tidak adanya rasa aman. Mereka membuat pagar yang tinggi untuk melindungi dirinya. Jadi fokuslah pada membentuk rasa aman itu. Berikan perhatian yang konsisten dan ajarkan aturan main pada anak.Perilaku bagaimana yang anda harapkan dari mereka, apa yang tidak boleh dilakukan, apa konsekuensinya jika mereka melanggar aturan main. Secara tidak langsung anda mengajarkan anak untuk belajar mengontrol diri dan perilakunya sendiri.
  • Bersikap realistis. Tidak perlu memasang harapan yang terlalu tinggi dengan langkah-langkah yang rumit. Fokus pada setiap langkah sederhana. Misalnya, deal dengan anak sebelum keluar dari rumah. Hari ini dia akan belajar duduk manis sendiri di kelas. Mama menunggu di luar kelas. Jika ia berhasil duduk di kelas tanpa menangis dan mencari Mama, ia akan mendapat hadiah kecil, es krim atau sebungkus biskuit kesukaannya.
  • Butuh banyak kesabaran. Proses membantu anak menghilangkan rasa gamang dan tidak percaya pada dunia sekitarnya, butuh banyak waktu sampai anak merasa yakin bahwa ia akan aman meskipun jauh dari figur lekatnya. Jadi jangan langsung memarahi anak karena akan membuat ia makin merasa tidak aman dan cemas.
  • Curhat pada teman atau anggota keluarga lain untuk meringankan beban emosional ketika rasa frustrasi mulai timbul. Bisa juga bergabung dengan komunitas yang memiliki anak bermasalah serupa (support group) agar saling memberi semangat.
  • Ciptakan rutinitas atau jadwal sehari-hari yang teratur karena anak akan merasa tidak nyaman jika sering ada perubahan mendadak.
  •  Jika ada acara kegiatan sekolah, seperti mengunjungi museum, ikut acara outbound dengan teman-teman sekolah, ikut lomba di sekolah lain, siapkan mental anak dengan memberikan beberapa pandangan apa yang mungkin ia temui pada saat berada di luar lingkungan sekolah. Yakinkan anak bahwa guru atau petugas lain yang ikut dalam rombongan itu, akan selalu siap membantunya.
  • Sering-seringlah merangkul, menggandeng atau memeluk anak agar ia yakin ada yang memperhatikannya dan sayang padanya. Bagi anak yang sejak kecil tidak terbiasa mendapatkan sentuhan fisik tersebut, mereka awalnya merasa agak risih dan menolak disentuh. Dekati anak dengan mulai menggenggam tangannya atau menyentuh bahunya.
  • Anak yang mengalami attachment disorder cenderung bersikap kekanak-kanakan, sikapnya tidak sesuai dengan tingkat usia biologisnya, seperti masih menangis berguling-guling di lantai meskipun sudah berusia 6 tahun. Untuk mengatasi ini, cobalah beberapa sikap non-verbal untuk menenangkan anak. Menarik halus lengannya, membelai kepalanya, atau memeluknya hingga ia tenang, baru kemudian diajak bicara.

Jika anak masih juga sulit ditangani atau tidak ada perubahan sikap yang signifikan, artinya anak butuh penanganan profesional. Biasanya akan ditangani dengan kombinasi beberapa terapi seperti konseling, terapi bermain, terapi keluarga, dan edukasi untuk orang tua atau pengasuh utamanya. (LG)

Nempel Kayak Perangko

 

“Anakku ini nempel kayak perangko. Ke manapun selalu ikut aku.” Itu komentar sahabat lama pada saat makan siang bersama, setelah hampir delapan tahun tidak bertemu. Ia hadir dengan puteranya, 10 tahun. Jelas terlihat ibu dan anak ini punya hubungan yang sehat dan menyenangkan.

Dalam psikologi, kedekatan anak dengan orang tua disebut attachment behavior. Dalam bahasa Indonesia, attachment diartikan sebagai kelekatan pada seseorang atau objek tertentu. Ini merupakan keterikatan emosional yang dalam dan kuat, yang menghubungkan satu orang dengan orang lain, lintas waktu dan ruang. Attachment tidak harus bersifat timbal balik antar kedua orang tersebut. Jadi bisa saja hanya sebelah pihak yang merasa sangat attached.

Chen n Mom

Saya sering menjumpai anak yang lekat dengan pengasuhnya, jadi ketika pengasuh tidak bekerja lagi dalam keluarga tersebut, anak merasa kehilangan. Bisa jadi mogok makan, rewel, sedih, sering menangis, karena ditinggal oleh pengasuh yang selama ini mendampinginya. Pada dasarnya, siapapun yang menjadi pengasuh utama anak (ibu atau suster) pada awal kehidupannya, cenderung menimbulkan kelekatan terlebih jika hubungannya terjalin dengan baik.

Teori Attachment Behavior

Teori attachment behavior pertama kali diutarakan oleh John Bowlby. Pada tahun 1930, Bowlby bekerja sebagai psikiater di Child Guidance Clinic di London di mana ia menangani banyak kasus anak-anak yang punya masalah emosi. Pengalaman ini menuntun Bowlby untuk mempelajari soal pentingnya hubungan anak dengan ibunya dalam hubungannya dengan perkembangan sosial, emosi dan kognitif anak. Anak yang memiliki hubungan dekat dengan ibu atau pengasuhnya, yang responsif terhadap kebutuhan-kebutuhannya, selalu ada pada saat dibutuhkan, memberi rasa nyaman dan aman bagi si anak, akan punya pengalaman yang menyenangkan pada masa kecilnya dan kepribadian yang lebih mapan.

Pada dasarnya teori attachment dikelompokkan menjadi dua:

1. Evolutionary Theory of Attachment
Teori ini menyebutkan bahwa anak lahir dengan program biologis yang sudah terbentuk sejak awal untuk memiliki attachment dengan orang lain sebagai salah satu kondisi yang membantu anak untuk bertahan hidup (survive). Bayi memberi reaksi dengan menangis, berteriak atau tersenyum untuk menarik respons pengasuhnya. Menurut Bowlby, awalnya anak membentuk attachment pada figur satu orang (monotropy) dan menjadikan figur itu sebagai basis yang aman baginya untuk mengeksplorasi dunia luar. Periode paling penting bagi perkembangan anak adalah pada usia 0 – 5 tahun pertama. Jika perilaku attachment tidak terbentuk pada masa ini, anak akan mengalami dampak perkembangan seperti kurangnya kecerdasan atau tambah agresif.

2. Learning / Behaviorist Theory of Attachment
Menurut teori ini, attachment adalah sekumpulan perilaku yang dipelajari. Dasarnya dimulai pada kebutuhan akan makanan, seperti bayi yang butuh makan akan mengembangkan attachment pada orang yang memberinya makan (biasanya ibu). Kenyamanan yang dirasakan ketika diberi makan akan diasosiasikan dengan rasa nyaman dekat dengan si pemberi makan. Proses ini dinamakan classical conditioning. Bayi juga belajar bahwa jika ia menangis atau tersenyum, ia akan mendapatkan balasan respons seperti perhatian, dipeluk atau digendong. Melalui proses yang disebut operant conditioning, bayi akan belajar merespons dengan mengulang perilaku yang sama untuk mendapatkan respons yang diinginkan (digendong, diganti popoknya atau diberi susu).

attachment-conditioning

Sumber: simplypsychology.org

Tahapan Attachment

Saat ini saya memiliki keponakan yang berusia tujuh bulan, puteri sepupu saya. Tiga bulan pertama sejak lahir, Sera merupakan bayi yang menyenangkan dan sangat murah senyum. Ia akan tersenyum lebar setiap kali diajak bermain cilukba atau disapa dan bahkan kaki tangannya akan bergerak riang ketika kita hendak menggendongnya. Namun sejak masuk usia 6 bulan, ia mulai mengernyitkan dahi dan terlihat tidak nyaman setiap kali didekati oleh orang yang tidak serumah atau yang biasa ia lihat. Dan sekarang, ia tidak mau lagi saya gendong. Selalu menangis dan berpaling. Ia hanya mau digendong ibunya atau pengasuhnya.

Banyak peneliti sepakat bahwa attachment behavior terbentuk dalam beberapa tahap. Rudolph Schaffer dan Peggy Emerson mempelajari perilaku 18 bulan pertama perkembangan 60 bayi. Bayi-bayi itu dikunjungi setiap bulannya untuk melihat perkembangan attachment behavior dengan ibu atau pengasuhnya. Hasilnya, ketika si pengasuh pergi atau tidak berada di dekat si bayi, timbul kecemasan pada bayi (separation anxiety).

Tahapan perkembangan attachment behavior yang dikemukakan oleh Schaffer dan Emerson adalah sebagai berikut:

– Usia 0 – 3 bulan : Bayi memberi respons yang sama pada setiap orang yang mendekatinya. Attachment belum spesifik pada orang tertentu (indiscriminate attachment).
– Setelah usia 4 bulan : Lebih suka pada orang-orang tertentu. Bayi mulai dapat membedakan siapa yang lebih sering mengasuhnya (pengasuh primer dan pengasuh sekunder), namun masih mau didekati dan digendong oleh siapa saja.
– Setelah usia 7 bulan : Mulai terbentuk attachment pada satu figur tertentu. Bayi akan selalu mencari figur utama yang dirasa memberikan rasa aman dan nyaman. Akan menangis jika didekati oleh orang yang asing (takut pada orang asing) dan tampak tidak nyaman jika dipisahkan dari figur utama yang paling sering mengasuhnya (separation anxiety).
– Setelah usia 9 bulan : Bayi mulai mandiri dan dapat mengembangkan attachment pada beberapa orang yang sering berada di sekitarnya (ibu,ayah, kakek, nenek, kakak, suster).

Hasil pemantauan kedua peneliti ini menunjukkan bahwa attachment behavior cenderung terbentuk dengan orang yang peka menangkap ‘sinyal’ yang diberikan si bayi. Schaffer dan Emerson menyebutnya sebagai respons yang sensitif (sensitive responsiveness). Ibu adalah figur utama bagi separuh anak di bawah usia 18 bulan. Yang terpenting bukan siapa yang setiap hari memberinya makan atau mengganti popoknya, tapi siapa yang paling sering mengajaknya bermain atau berkomunikasi dengannya. Jadi, jika ingin anak dekat dengan anda, sering-seringlah mengajaknya bermain atau mengobrol. Anak akan selalu ingat dan merindukan anda.

Bagaimana Attachment Mempengaruhi Perilaku?

Menurut Bowlby, anak membentuk suatu model internal dalam dirinya tentang bagaimana suatu relasi terbentuk dari pengalaman masa kecilnya dengan figur lekatnya. Yang menjadi model bagi anak biasanya memberi contoh bagaimana mengatasi suatu masalah, bagaimana berteman, bagaimana berbicara dengan guru atau teman, dan lain sebagainya. Nah, contoh-contoh ini akan menjadi ‘template’ bagi anak dan diaplikasikan pada relasinya kelak dengan orang lain.

Kualitas hubungan antara anak dengan orang tua merupakan salah satu faktor terpenting dalam perkembangan kepribadian anak kelak. Dari 69 penelitian yang melibatkan hampir 6000 anak di bawah usia 12 tahun yang dilakukan di beberapa universitas di Inggris, Belanda dan Amerika, menunjukkan bahwa anak, khusunya anak laki-laki, yang memiliki hubungan tidak harmonis dengan ibunya pada masa perkembangan awal, cenderung punya masalah perilaku pada masa perkembangan berikutnya. Hasil penelitian ini diterbitkan dalam jurnal Child Development, Maret-April 2010. ( Sumber: Psychology & Sociology).

Anak yang merasa aman dengan figur lekatnya, akan mendapat perlakuan hangat, sensitif dan responsif yang konsisten dari sang figur dan menikmati hubungan yang terjalin. Pengalaman ini akan terpateri dalam dirinya dan kelak akan memiliki beberapa ciri kepribadian sebagai berikut:

– Cenderung memiliki pandangan hidup yang positif
– Tahu bagaimana berinteraksi dengan lingkungan
– Punya relasi sosial yang baik
– Disenangi banyak orang
– Tidak mudah putus asa
– Punya rasa percaya yang tinggi
– Emosi lebih stabil
– Lebih mudah beradaptasi pada lingkungan
– Mampu mengekspresikan perasaan dengan lebih baik
– Memecahkan masalah dengan baik (good problem solver)
– Prestasi di sekolah cemerlang.

Bagi anak-anak yang di masa kecilnya tidak punya figur lekat, cenderung sulit percaya pada orang lain, karena selama ini tidak ada orang yang dirasa dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi dirinya. Anak merasa dirinya tidak layak untuk dicintai dan tidak percaya orang lain perduli pada dirinya. Sebagai mekanisme pertahanan diri, mereka menjadi apatis dan bersikap tidak perduli pada orang lain, tidak punya empati, namun sebenarnya di dalam dirinya ada perasaan terluka, sedih dan marah. Itu sebabnya kenapa mereka cenderung akan memiliki sifat dependen yang tinggi pada orang lain dan suka menuntut. Pemarah, gelisah, impulsif, mudah frustrasi, memiliki rasa percaya diri yang rendah dan sering menjadi target bully. Suka mencari perhatian pada guru dengan menciptakan konflik atau masalah di kelas, menjadi agresif dan bahkan merusak.

Jadi jelas digambarkan pengaruh dari kelekatan hubungan anak dengan orang yang hadir pada masa-masa awal kehidupannya, dalam hal ini pengasuh utamanya (caregiver). Usahakan selalu menjalin hubungan yang hangat dengan anak dan menjadi figur lekat anak.

Aku Mau Jadi Anak Sulung

Ayooo, siapa yang menduduki posisi anak sulung, anak tengah atau anak bungsu dalam keluarga? Atau anda justru menjadi anak satu-satunya? Saya anak kedua dari tiga bersaudara. Jarak usia dengan kakak sekitar 4 tahun dan dengan adik 5 tahun. Yang saya ingat, sejak TK saya sudah harus menjaga adik, menyuapinya jam 5 sore saat teman-teman saya asik bermain kasti, petak umpet, loncat tali. Makannya diemut lama, jadi acara makan selesai ketika jam bermain juga selesai. Ahaa….serunya jadi kakak perempuan dan punya adik meskipun kadang kala saya sedih juga karena tidak bisa ikut bermain dengan teman-teman. Selain itu, saya sering jadi penengah antara kakak dan adik atau jadi humas antara kakak dengan orang tua jika ia suatu waktu ingin dibantu ’melobby’ orang tua untuk mendapatkan sesuatu, dari minta tambahan uang saku hingga keinginan beli motor.

Beberapa waktu yang lalu dalam perjalanan pulang dari sekolah ke rumah, putera bungsu saya tiba-tiba memeluk dari belakang dan berkata: “Ma, kenapa aku ga dilahirkan duluan? Aku maunya jadi Koko, jadi anak paling gede. Ga enak jadi adik.” Lho???? Saya tidak bisa menahan tawa mendengar protes si kecil. Ternyata dia merasa kurang power karena jadi anak bungsu dengan dua kakak yang berjarak usia 10 tahun dan 8 tahun. Selalu jadi anak bawang dan kerap dijahilin dan diuwel-uwel oleh kakak-kakaknya.

image_2

Urutan Kelahiran

Seberapa penting posisi urutan kelahiran dalam keluarga? Beberapa ahli percaya bahwa urutan kelahiran punya peranan penting dalam membentuk kepribadian, bagaimana kelak seseorang akan bertindak ketika dewasa. Menentukan bagaimana melihat dan menilai lingkungan, bagaimana ia ingin diperlakukan oleh lingkungannya.

Alfred Adler, psikiater (1870 – 1937), adalah orang pertama yang mengemukakan teori tentang pengaruh urutan kelahiran pada kepribadian. Kepribadian adalah cara kita menghadapi atau menangani tugas-tugas dalam hidup (tasks of life), termasuk pekerjaan, pergaulan, dan bahkan bagaimana menghibur diri sendiri.
Persepsi tentang urutan kelahiran juga akan mempengaruhi pilihan karir seseorang. Eckstein dan Kaufman melakukan studi di Polandia dan hasil penelitiannya orang cenderung percaya bahwa anak sulung akan menempati posisi pekerjaan yang bergengsi.

Selain urutan kelahiran, perlu disimak juga beberapa aspek:
– Jarak usia kelahiran anak
– Tempat tinggal (demografis)
– Status sosial
– Perubahan tatanan dalam keluarga
– Jumlah anak yang tinggal serumah

Jika jarak kelahiran lebih dari 6 tahun, nampaknya ada gap antar anak karena anda akan berhadapan dengan anak dari dua generasi. Ini berlaku juga ketika kita punya pasangan yang berbeda usia lebih dari 6 tahun. Bagaimana dua orang dari dua generasi harus beradaptasi dan hidup bersama dalam satu rumah.

Teori Adler Tentang Urutan Kelahiran

Alfred Adler mengeksplorasi pengaruh urutan kelahiran dan berapa lama seseorang hidup bersama saudara-saudaranya karena dianggap setiap urutan kelahiran memiliki sisi unik, baik dari segi positif maupun negatif.

Tabel yang disederhanakan dari teori Adler tentang urutan kelahiran:

POSISI SITUASI DALAM KELUARGA KARAKTERISTIK ANAK
ANAK TUNGGAL Anak yang sangat berharga dalam keluarga dan memperoleh perhatian penuh dari kedua orang tua.  Bisa menjadi  saingan dari salah satu orang tua. Cenderung dimanjakan dan orang tua  sangat protektif (over-protective). Suka menjadi pusat perhatian orang dewasa. Sering sulit untuk berbagi (sharing) dengan teman sebaya. Lebih suka bergaul dengan orang yang lebih dewasa dari dirinya dan mengikuti gaya bicara orang dewasa.
ANAK SULUNG Harus belajar berbagi karena punya saudara yang lebih muda. Harapan orang tua biasanya sangat tinggi. Sering diberi tanggungjawab lebih dan diharapkan menjadi panutan adik-adiknya. Bisa jadi otoriter, merasa paling berkuasa.  Suka membantu orang lain jika diberi dukungan atau merasa dihargai.
ANAK TENGAH Terjepit di antara kakak dan adiknya. Lebih kompetitif dan ingin mengalahkan si kakak. Bisa jadi pemberontak karena merasa dikesampingkan dan sulit mendapatkan perhatian.  Cenderung keras dan tegas: take it or leave it.
ANAK BUNGSU Punya banyak ‘ayah dan ibu’ karena kakak-kakaknya mencoba jadi mentor.  Tidak pernah ‘turun tahta’, selalu jadi raja kecil di rumah. Ingin menjadi lebih dewasa dan berkuasa dari  kakak-kakaknya.  Selalu jadi adik kecil dan dimanja.
ANAK KEMBAR Biasanya salah satu lebih aktif  dan orang tua akan membedakan mana yang dianggap sebagai kakak. Bisa timbul masalah identitas. Yang lebih kuat akan menjadi pemimpin (leader)
“ANAK HANTU” Anak yang lahir setelah kematian anak di atasnya, seperti ada ‘hantu’ di depannya. Ibu akan cendrung over-protective. Anak bisa jadi mengeksploitasi sikap ibu yang over-protective. Mungkin juga jadi pemberontak dan protes jika dibanding-bandingkan dengan anak yang sebelumnya.
ANAK ADOPSI Orang tua merasa beruntung mendapatkan anak ini dan cenderung memanjakannya. Mencoba mengkompensasi ketiadaan orang tua kandung si anak. Anak bisa menjadi sangat manja dan banyak menuntut.  Suatu ketika ia mungkin akan membenci atau justru mengidolakan orang tua kandungnya.
ANAK LAKI-LAKI SATU-SATUNYA Jika ayah tidak di rumah, ia akan selalu berada di tengah saudara-saudara perempuannya. Bisa menunjukkan kuasanya sebagai laki-laki di rumah atau juga menjadi lebih lembut dan feminin.
ANAK PEREMPUAN SATU-SATUNYA Saudara laki-laki yang lebih tua menjadi ‘pengawalnya’. Bisa menjadi sangat feminin atau tomboi dan lebih ‘hebat’ dari saudara-saudaranya.  Ingin menyenangkan ayahnya.
SEMUA ANAK LAKI-LAKI Jika ibu menginginkan anak perempuan, bisa jadi anak didandan seperti perempuan. Anak mungkin akan menurut pada peran yang ditunjuk atau memprotes keras.
SEMUA ANAK PEREMPUAN Mungkin didandan seperti laki-laki. Anak mungkin akan menurut pada peran yang ditunjuk atau memprotes keras

Sumber: http://www.adllerian.us/birthord.htm

Menurut Adler, perbedaan situasi dan karakteristik urutan kelahiran akan hilang jika sistem dalam keluarga lebih demokratis dan kooperatif, kompetisi dan juga perang kekuasaan antar anak akan berkurang.
• Situasi psikologis tiap anak dalam keluarga berbeda satu sama lain.
• Pandangan anak terhadap dirinya sendiri dan situasinya akan menentukan bagaimana ia akan bersikap.
• Jika ada kesempatan, posisi urutan kelahiran dapat ‘dikudeta’ oleh anak yang lain.
• Kompetisi akan muncul jika ada perkembangan karakter atau kepentingan lain.

Dalam tulisan ini kita akan fokus pada posisi anak sulung, anak tengah, anak bungsu dan anak tunggal. Jika dalam suatu keluarga ada 5 anak, anak kedua, ketiga dan keempat dimasukkan dalam kategori anak tengah.

Karakteristik Umum

Alan E. Stewart, psikolog dari University of Georgia, menerangkan perbedaan karakter tiap anak dengan menggunakan kerangka Adler sebagai berikut:

Anak Sulung :

image_4

– Goal-oriented
– Agresif
– Konservatif, taat aturan, agak kaku
– Tanggungjawab
– Teratur (well-managed)
– Kompetitif
– Harga diri tinggi dan cenderung arogan
– Tegas
– Berjiwa petualang, suka mencoba hal-hal baru
– Suka membantu, melindungi atau menjadi pemimpin dalam kelompoknya.
– Ingin dipuji terus dan takut kehilangan pamor dengan hadirnya kompetitor (adik)
– Sering takut dan cemas
– Iri hati

Anak Tengah:

image_3

– Punya kepribadian yang lebih beragam.
– Bukan menjadi pusat perhatian, cenderung menjadi penghibur
– Punya perasaan tidak dimiliki (sense of not belonging), merasa diabaikan. Kalah pamor dari kakak atau adik.
– Mencari perhatian
– Sering merasa kesepian
– Menjadi mediator dalam kelompok
– Menghindari konflik agar disukai teman
– Banyak teman
– Social skills bagus dan gampang beradaptasi
– Sering merasa bingung dan tidak ada panutan. Cenderung mengikuti aliran saja.
– Pilihannya: take it or leave it

Anak Bungsu

2013-02-02 16.44.30
– Tipe penggembira
– Selalu dianggap anak bawang dan dimanja
– Tidak mandiri, akibat dimanja dalam keluarga.
– Manipulatif dan berusaha mengontrol orang lain
Bossy

Anak Tunggal

– Karakter mirip dengan anak sulung.
– Tidak ada saingan dalam keluarga untuk meraih perhatian orang tua
– Terbiasa dimanja jadi ada kemungkinan agak sulit dalam hubungan interpersonal dengan orang lain jika dewasa nanti.
– Ingin terus dilayani
– Kurang mandiri
– Bisa jadi pemberontak karena sikap over-protective orang tua dan merasa terkungkung.

Pada intinya, menurut Stewart, kita tidak perlu berkutat pada ‘nasib’ karena terlahir sebagai anak keberapa dalam keluarga. Kita tidak bisa memilih kapan kita dilahirkan, namun kita bisa merubah cara pandang pada apa dan bagaimana harus berperan dalam keluarga. Jadi tidak perlu terintimidasi oleh stereotip peran dari urutan kelahiran.

Tips Menangani Tiap Anak

Sebagai orang tua, kita tidak perlu terlalu fokus pada stereotip karakter dari urutan kelahiran tiap anak. Dengan memperhatikan perkembangan tiap anak, kita akan dapat mengenali tabiatnya dan apa yang menjadi kekuatan atau kelemahannya. Setiap anak adalah unik.

Anak Sulung :
Anak sulung biasanya lebih serius dalam menghadapi segala hal, jadi orang tua membantu meringankan dengan tidak selalu mencari kesalahannya. Jangan memojokkannya atau terlalu kritis dan menekan dengan memberikan target yang terlalu tinggi. Target dan reward bisa dibuat seimbang agar anak tidak terlalu terbebani.

Anak Tengah:
Karena merasa terjepit di antara kakak dan adiknya, cobalah lebih sering meluangkan waktu bersama anak tengah. Mereka akan merasa dihargai. Anda akan menemukan hal-hal spesial dari anak tengah. Mungkin anak tengah punya talenta berbeda dan tidak perlu ikut les musik, les menggambar atau les menari seperti kakaknya. Hindari membanding-bandingkannya dengan kakak atau adiknya. Ia akan merasa makin kecil hati dan terpojok.

Anak Bungsu:
Pastikan anda tidak terlalu memanjakan atau menjadikannya Pangeran atau Puteri dalam keluarga. Berikan tanggung jawab dan target. Biarkan ia belajar disiplin dan wajib patuh pada aturan-aturan yang berlaku juga pada kakak-kakaknya. Tidak over-protective dan selalu dilayani karena ia anak paling kecil dan dianggap lemah.

Anak Tunggal:
Biarkan anak menikmati masa kanak-kanaknya dengan bebas tanpa membebaninya dengan harapan-harapan muluk orang tua. Tidak over-protective. Berikan kepercayaan bahwa mereka bisa belajar dari lingkungan. Biasakan anak bergabung dalam komunitas sebayanya agar ia belajar berbagi dan mengelola emosi. Memelihara binatang juga bisa membantu anak belajar menyayangi makhluk hidup lain. Sesekali izinkan anak untuk menginap di rumah saudara sepupu atau teman dekatnya.

Putera bungsu saya kembali tersenyum ketika saya katakan: “Harusnya kamu senang punya dua Koko. Mereka sayang sekali sama kamu dan kamu punya contoh bagaimana memadukan celana jins dengan kemeja atau baju kaus. Bagaimana menyelesaikan soal Matematika yang rumit, ketika Mama sendiri bingung menerangkan. Bagaimana trik bermain futsal atau cara menyusun Lego.” Dan saya kembali mendapat bonus pelukan hangat. Dipeluk erat sekali.

62ee8d79d5baa49bf2d7229bc55f546c

Saya Ibu Yang Galak

Tahun 2011 buku yang ditulis oleh Amy Chua: Battle Hymn of the Tiger Mother, ramai dibahas di media. Buku ini menjadi best seller di New York Times dan menuai banyak reaksi dari pembaca. Saya mendapatkan buku ini dari seorang sahabat lama. Amy berbagi pengalamannya dalam mendidik kedua puterinya di lingkungan kebudayaan barat. Bersuamikan seorang Jahudi, sementara Amy adalah keturunan Tionghoa. Mereka sepakat anak-anaknya dididik ala Asia dan berbicara bahasa Mandarin, padahal Amy sendiri tidak bisa bahasa Mandarin, jadi mereka membayar seorang pengasuh anak yang fasih berbahasa Mandarin untuk mengajar anak-anaknya. Buku yang sangat menarik sebagai bahan perbandingan dengan cara kita mendidik anak-anak, terlepas dari banyaknya kontroversi dan cibiran hingga ancaman pembunuhan terhadap Amy Chua. Puteri sulungnya, Sophia Chua-Rubenfeld kemudian membuat testimoni dari sisinya sebagai anak dan dimuat secara eksklusif di Wall Street Journal, tidak lama setelah buku Amy beredar. Intinya, Sophia berterima kasih kepada ibunya karena telah mendidik dia dan adiknya, Louisa, dengan cara didik ibu Asia. Keras dan disiplin tinggi. (Artikel lengkapnya bisa dibaca di http://nypost.com/2011/01/18/why-i-love-my-strict-chinese-mom/)

Buku ini membantu saya mengevaluasi diri sebagai ibu dalam mendidik ketiga putera saya. Aturan-aturan yang saya buat di rumah mungkin hanya sepertiga dari kerasnya aturan yang diterapkan Amy pada anak-anaknya. Tidak semua poin dari cara mendidik Amy sesuai dengan ‘gaya’ saya.

Selama ini saya menganggap dan menilai diri sendiri sebagai ibu yang cukup moderat, open-minded dan demokratis, tapi beberapa waktu yang lalu putera sulung saya dengan telak mengatakan: “Mama ini kuno. Masih tipe konservatif. Cape deh.” Si bungsu, 8 tahun, juga buka suara: “Mama galak banget. Banyak aturannya. Ga kayak mamanya Naufal yang santai saja main BB, semuanya boleh. Ga tidur siang juga ga papa. Boleh naik sepeda siang-siang, boleh main sampai keluar kompleks”. Gleekkk….Jadi, maunya punya Mama seperti apa? “Aku mau punya Mama Lily saja, biarpun galak dan banyak aturan, tapi aku jadi sehat dan disiplin.” Ahaaaa….ternyata, biarpun saya galak dan sering bersuara keras, anak-anak mengerti maksud di balik semua aturan dan omelan saya.

Jadi meskipun saya juga sering dibombardir oleh kritikan dan celotehan anak-anak, saya harus tetap bebesar hati menerimanya karena saya tahu mereka sayang dan hormat pada saya. Ini salah satu efek dari cara saya mendidik mereka: bebas mengemukakan pendapat, mengkritik, mengajukan claim jika ada yang dirasa tidak sesuai deal dan boleh bernegosiasi dengan mengajukan alasan yang masuk akal. Rasanya cukup demokratis namun masih dianggap saya konservatif dan kuno. Hhhmmm….

Bagaimana Tipe Ibu Masa Kini?

Berdasarkan penelitian global yang dilakukan oleh satu perusahaan consumer care yang memproduksi aneka macam kebutuhan rumah tangga berbahan dasar kertas, terungkap enam tipe peranan ibu. Model peranan ibu ini secara luas menjelaskan perbedaan cara pengasuhan ibu secara global, termasuk persepsi mereka mengenai anak dan apa yang terbaik untuk mereka. Responden penelitian adalah lebih dari 5.000 ibu yang memiliki bayi hingga anak di bawah tiga tahun serta ibu hamil dari seluruh dunia (2.000 di antaranya adalah ibu-ibu di Asia Tenggara, termasuk Indonesia).

1. The Playful Mother

Spontan, tidak banyak pikiran, suka bereksperimen, trendi, dan hangat. Ia menginginkan anaknya menjadi selalu ingin tahu, ceria, aktif, suka bereksplorasi, penuh kejutan. Senang menciptakan lingkungan yang merangsang perkembangan kognitif anak-anaknya.
Di Asia Tenggara terdapat 18,1 persen ibu dengan tipe ini.

Playful Mom

2. The Natural Mother

Ceria, pintar, penuh kasih sayang, dan penyayang.
Ia menginginkan anaknya menjadi bahagia, mandiri, terbuka. Menggunakan pendekatan yang santai dalam membesarkan anak-anaknya dan menempatkan diri sebagai teman dan juga ibu. Mendorong anak-anaknya agar bisa lebih mandiri dengan membentuk lingkungan yang mendukung. Di Asia ada 22,9% ibu tipe ini.

3. The Protective Mother

Berhati-hati, rajin, mengabdi, lembut, konservatif, tidak suka resiko. Ia menginginkan anak-anaknya menjadi innocent, lembut, berharga, terlindungi. Anak adalah segalanya baginya dan membuat lingkungan senyaman mungkin. Menurut survei ada 15,7 % ibu tipe ini di Asia Tenggara.

4. The Independent Mother

Aktif, suka berpetualang (adventurous), berani, mandiri.
Ia menginginkan anaknya menjadi enerjik, sehat, mandiri, selalu ingin tahu, seseorang yang suka berpetualang, kompetitif dan fokus pada perkembangan intlektual anaknya. Menjadi ibu baginya adalah petualangan yang benar-benar ia nikmati.
Menurut survei ada 12,3 % independent mother di Asia Tenggara.

5. The Ambitious Mother

Berorientasi pada tujuan, sukses, gaya, suka menuntut, menginginkan anaknya menjadi lebih hebat dan lebih baik dari anak orang lain. Disiplin. Ia mengarahkan impian yang besar dan bekerja keras untuk menyalurkan bakat anak agar sukses di masa depan. Ibu dengan tipe ini ada 16,2 % di Asia Tenggara.

6. The Competent Mother

Bertanggung jawab, rasional, berpikiran jernih, teliti, dan selalu memiliki informasi terkini. Ia menginginkan anaknya dibesarkan dengan baik, bersih, dapat tampil, dan menguasai banyak keterampilan dan terencana dengan baik. Ibu di Asia Tenggara lebih memfokuskan perhatian pada intensitas bermain, sementara di negara lain ibu tipe ini lebih fokus terhadap perkembangan intelektual.

Selain keenam tipe ibu yang disebutkan di atas, ada juga sebutan ibu helikopter (helicopter mom), tiger mom dan mommabear. Helicopter mom digambarkan sebagai ibu yang super protektif. Mereka tidak membolehkan anaknya berbuat kesalahan, mengambil keputusan atau menghadapi tantangan sendiri. Bahkan juga ikut campur dalam memilihkan teman untuk anak-anaknya. Tiger mom adalah tipe ibu yang keras dan sangat disiplin dan fokus pada prestasi akademis anak-anaknya. Sedangkan mommabear bisa jadi tipe ibu idaman karena sangat perhatian, lembut namun tegas dan akrab dengan anak-anaknya.

themomalog

sumber : themomalog.com

Saya tidak meng-claim diri termasuk tipe ibu yang bagaimana, namun saya menerapkan beberapa aturan dasar yang harus ditaati anak-anak, dari urusan cuci tangan, baju yang dipakai, jam tidur siang dan malam, membuat pe er, merapikan buku, aturan keluar rumah, laporan pergi ke mana, dengan siapa dan acara apa, makan di rumah atau tidak, dan banyak hal keseharian lainnya. Ada SOP (Standard Operating Procedure) yang berlaku dan harus dipatuhi. Anak-anak sudah hafal bagaimana saya akan bersikap dan bereaksi jika mereka tidak patuh pada aturan dasar. Mereka boleh mengajukan usul atau negosiasi untuk mendapatkan kelonggaran dalam aturan. Akan ada deal yang disepakati bersama dan mereka wajib menepati. Jam tidur siang, jam bermain, jam belajar, dan lainnya dapat dinegosiasikan, termasuk jenis hukuman atau hadiah (rewards).

Menurut saya, ada beberapa kesalahan yang harus dialami sendiri oleh anak agar ia dapat belajar dari tindakannya itu. Bermain sepeda misalnya. Sejak awal sudah saya ingatkan, jangan ngebut, hati-hati di tikungan, perlambat laju sepeda jika ada polisi tidur. Jadi ketika anak tidak mengindahkan dan suatu sore pulang ke rumah dengan kedua lutut berdarah, sepeda lecet dan stang bengkok karena terjun ke got, saya hanya tersenyum sambil membersihkan lukanya. Mereka akan belajar banyak dari kasus jatuh dari sepeda ini. Kasus lain, lupa membawa pe er atau seragam olah raga ke sekolah. Saya tidak selalu mengantarkan buku atau seragam yang ketinggalan itu ketika ditelpon si anak dari sekolah, agar mereka bertanggungjawab atas’ lupa’ dan kelalaiannya sendiri.

Untuk urusan akademis, saya tidak mengharuskan anak-anak harus mendapatkan nilai excellent atau straight A untuk semua mata pelajaran, tapi saya selalu menekankan pada poin memaksimalkan talenta yang dimiliki. Jika berbakat pada bidang bahasa, artinya nilai bahasa harus bagus. Jika punya minat pada bidang eksak, mereka harus fokus dan maksimalkan hasilnya. Jadi saya tidak akan marah jika nilai mengarang, menggambar atau untuk mata pelajaran lain yang anak kurang berminat, hanya mencapai nilai minimal untuk lulus (KKM). Bagi saya, social skills tidak kalah penting untuk dipelajari anak-anak, selain urusan akademis semata. Mereka juga harus belajar bagaimana membina hubungan yang sehat, bertoleransi, menekan ego, menahan emosi, berbagi, berdiskusi, menerima pandangan orang lain, dan lain sebagainya.

Sebuah majalah wanita di Indonesia mengelompokkan tipe ibu berdasarkan perilakunya di media sosial sebagai berikut:

1. The Every-Milestone-Ever Mom: Tipe ibu yang mengabadikan apapun yang dilakukan buah hatinya. Mulai dari gigi pertama yang tumbuh hingga buah pertama yang dimakan si kecil. Tipe ibu ini tak ingin kehilangan momen berharga sang anak dan ingin memberitahu seluruh dunia. Jadi tidak heran jika anda akan melihat banyak postingan di media sosialnya yang berisi laporan lengkap perkembangan dan kegiatan anak-anaknya.

2. The Favor-Seeker: Mengakses media sosial saat ia membutuhkan bantuan, misalnya mencari info tempat menjual popok murah atau rekomendasi sekolah untuk bayi. Tipe ibu ini biasanya juga memiliki banyak informasi. Jadi jangan segan bertanya pada orang-orang seperti mereka.

3. Let’s Make a Deal Mom: Gemar berburu diskon dan berbelanja online. Jika Anda punya teman seperti tipe ibu ini, jadikan mereka tempat bertanya diskon dan belanja murah. Siap-siap saja timeline anda dipenuhi dengan aneka promo belanja dari mereka.

4. The Crusader: Tipe ibu ini suka membaca semua berita terkini tentang masalah kesehatan dan pengasuhan anak. Singkatnya, sangat update tentang tren terbaru.

5. The Complainer: Kalau tipe ibu yang satu ini suka membanjiri timeline dengan keluhan-keluhan, entah itu tentang sang anak maupun kehidupan rumah tangganya. Punya teman yang seperti ini?

Nah, silahkan pilih, anda termasuk tipe ibu yang bagaimana. Yang paling penting, jadilah ibu favorit dalam keluarga, setidaknya bagi anak-anak sendiri. Bagi saya, menjadi ibu merupakan prestasi terbesar yang saya capai dalam hidup. Bayaran yang saya terima melebihi apapun juga ketika anak-anak memeluk dan mencium saya dengan hangat, duduk di sebelah saya, glendotan sambil bercerita panjang lebar, memijat lembut pundak saya atau menyodorkan secangkir kopi hangat ketika saya tiba di rumah dengan wajah kusut karena ketinggalan pesawat. Suatu hari ketika membahas topik apa dan bagaimana ‘bahagia’ itu, salah satu putera saya berkata: “Bahagia itu adalah melihat Mama tersenyum.” Hati saya meleleh dan mata berbinar-binar. Jadi jangan heran melihat senyuman saya sering terpateri di wajah.

Being Mom

Selamat Hari Ibu. (LG)

Anak Anda Sulit Fokus?

Akhir minggu lalu orang tua diundang ke sekolah untuk bertemu guru kelas dan menerima laporan hasil belajar bulanan anak. Tiap anak mendapat jadwal tersendiri, jadi hanya ada tiga orang yang bertemu: guru kelas, orang tua dan anak. Ini disebut three-way conference. Pada kesempatan ini guru akan melaporkan apa dan bagaimana sikap anak dalam kelas ketika guru menerangkan, ketika diminta tampil di depan kelas, menjawab pertanyaan atau ketika bermain. Satu hal yang paling ‘menonjol’ dari putera saya, saat ini duduk di kelas 3 SD, tidak bisa diam. Tangannya terus memainkan penggaris atau pensil ketika guru menerangkan, terkadang tangannya sibuk melipat kertas (origami), atau sambil menggambar Minion, Ultraman, Power Rangers di kertas coretan. Atau juga mengobrol. Kesimpulannya: tidak bisa fokus pada apa yang sedang diajarkan guru di depan kelas. Jadi bisa ditebak, ketika dipanggil atau ditanya guru, ia tidak bisa menjawab. Langganan dihukum di kelas, tapi herannya, tidak jera juga. Duh. Ini salah satu tantangan guru di kelas, bagaimana menghadapi anak-anak yang sulit fokus dan tidak mengganggu ketenangan di kelas.

Pesawat kertas

sumber : realsimple.com

Masalah anak yang sulit fokus menjadi salah satu topik yang paling sering dikeluhkan oleh orang tua dan guru karena akan menganggu prestasi anak. Pemicu kecil saja bisa membuat perhatian anak teralih dan anak akan bergerak meninggalkan tempat duduknya. Apa yang sedang dipelajari seketika menjadi buyar. Sulit fokus bukan hanya karena anak terus bergerak, tapi juga melamun, bosan, mengantuk, badan kurang fit.

 

Melamun1

sumber : gofitandfab.blogspot.com

Perhatian (attention) timbul dari ketertarikan akan sesuatu dan adanya stimulasi. Anak-anak banyak yang tertarik dengan games dan bisa fokus bermain selama beberapa jam. Bagaimana games membius anak-anak sampai betah bermain berjam-jam? Menurut para ahli, games memberikan stimulasi yang terus menerus, menyuplai dopamine, kimiawi otak yang berfungsi mengatur fokus. Games menyodorkan gerakan yang cepat, pertukaran berbagai scene, warna yang menarik dan isi permainan yang memicu adrenalin, sehingga dapat menimbulkan kecanduan.
Berhubung permainan elektronik sangat menstimulasi anak untuk fokus, saat ini banyak materi pelajaran yang dikemas dalam bentuk video games. Efek negatif dari permainan elektronik menjadikan kegiatan yang non-screen tidak menarik lagi, seperti membaca buku, menyusun lego atau puzzle, origami, dan lainnya. Ini seperti pisau bermata dua bagi orang tua dan guru karena anak-anak akan kehilangan minat pada kegiatan non-screen. Permainan non-screen dirasa membosankan, terlebih bagi anak-anak yang mengalami masalah sulit fokus.

Gejala Anak Sulit Fokus

Simptom/gejala anak-anak yang punya masalah konsentrasi dapat dilihat dari beberapa kejadian kecil dalam keseharian seperti:
– Tidak menaruh perhatian pada hal yang detil
– Ceroboh
– Perhatian cepat teralih begitu ada stimulus lain
– Terlihat tidak mendengarkan ketika kita berbicara padanya
– Kesulitan mengingat sesuatu
– Tidak mau ikut instruksi
– Mudah bosan
– Bisa mendadak meninggalkan kegiatan yang sedang dikerjakan
– Sering kehilangan alat tulis, kotak makanan, buku, mainan dan sebagainya.

Faktor Pemicu Dan Solusi

Ada 5 hal utama yang biasanya menjadi pemicu anak menjadi mudah beralih perhatian:

1. Benda yang ada di dekatnya: Anak yang sulit fokus biasanya tangan kakinya tidak bisa diam. Ada saja yang dipegang, diambil atau digoyang-goyangkannya. Apakah itu pensil yang diputar-putar di tangan, duduk sambil kursi digoyang atau diputar, kaki menendang-nendang kaki kursi depan, mengetuk-ngetukkan pulpen di meja.

Solusi: Berikan suatu benda dalam kantong baju/celananya. Anak diminta duduk dengan tangan dalam kantong dan memegang benda dalam kantong itu. Mengunyah permen karet juga dapat membantu anak lebih tenang dan fokus.

2. Suara dering telepon: Sulit untuk membedakan suara mana yang lebih penting untuk didengarkan, suara guru atau suara dering telpon.

Solusi: Jauhkan pesawat telepon dari ruang belajar anak agar tidak mengganggu konsentrasi atau atur volume dering menjadi mute ketika anak sedang mengerjakan satu kegiatan yang membutuhkan konsentrasi atau sedang belajar.

3. Pakaian yang menimbulkan rasa gatal di kulit atau label pakaian yang sering mengganggu kenyamanan di bagian tengkuk atau sisi tubuh (care label). Anak yang sensitif dengan indera peraba, akan cepat bereaksi jika ada yang dirasakan tidak nyaman pada kulit tubuhnya. Badan akan terasa gatal, digaruk-garuk atau menggeliat terus.

Solusi: Berikan anak pakaian yang halus dan nyaman dipakai. Guntinglah semua label pakaian agar tidak mengganggu.

4. Orang yang lalu lalang di dekat pintu atau jendela. Anak yang sulit fokus sangat sensitif dengan bayangan gerakan yang melintas, bahkan hanya dari sudut matanya.

Solusi: Jauhkan posisi duduk anak yang sedang fokus mengerjakan sesuatu dari jendela atau pintu, terlebih di tempat yang banyak orang lalu lalang.

5. Pikirannya sendiri: Anak yang sulit fokus bukan hanya terganggu oleh faktor eksternal, namun juga dari dirinya sendiri. Ia bisa tiba-tiba terpikir suatu hal lain ketika asik mengerjakan sesuatu dan langsung bergerak atau beralih perhatian. Terlalu banyak ‘rencana’ yang melintas dalam pikirannya.

Solusi: Pilah tugas menjadi beberapa bagian agar anak tidak terlalu lama berkutat karena concentration span (rentang konsentrasi) yang terlalu besar membuat anak cenderung cepat capek. Beri jeda waktu setelah melakukan satu bagian tugas. Musik yang lembut dan penggunaan timer juga dapat membantu anak untuk diam lebih lama, hingga timer berbunyi.

Diharapkan dengan mengontrol kondisi-kondisi di atas, anak bisa memperpanjang concentration span dan lebih fokus pada apa yang sedang dikerjakan .
Anda dapat mencoba cara lain untuk mmbuat anak lebih konsentrasi dan fokus pada apa yang sedang dikerjakan. Menyusun lego, puzzle atau menggambar atau bahkan bermain games juga dapat dijadikan latihan karena membutuhkan konsentrasi. Seorang teman pernah menerapi anaknya yang sulit fokus dengan beberapa games di laptop dan Ipad. Games yang dipilih semuanya membutuhkan konsentrasi untuk koordinasi kecepatan tangan dan mata dan bukan jenis games yang memacu adrenalin seperti tembak-tembakan atau perkelahian (fighting). Games yang dipilih jenis penyusunan blocks, kecepatan penyajian makanan di restoran, penataan rambut atau busana, mencari barang yang hilang. Hasilnya, anak bisa duduk diam untuk beberapa saat dan konsentrasi pada permainan. Makin lama jangka waktu konsentrasi anak bertambah sedikit demi sedikit dengan pelatihan melalui games ini.

Superaktif Atau Hiperaktif?

Ketiga putera saya termasuk anak-anak yang aktif sejak kecil dan kerap diberi label lasak, tidak bisa diam, kayak cacing, dan bahkan disebut bandel oleh banyak orang yang gregetan melihat kaki, tangan dan mulut tidak bisa diam. Ada saja barang yang dipegang, dibolak-balik, digoyangkan, dikomentari atau ditanyakan. Jarang sekali terlihat duduk manis dan diam lebih dari 10 menit. Hiperaktif? Eiittss….belum tentu setiap anak yang terlihat aktif langsung dikategorikan hiperaktif. Bisa jadi mereka kelebihan energi dan ‘hanya’ superaktif. Benarkah? Yang jelas, memang saya cukup kewalahan menghadapi anak-anak yang aktifnya melebihi ‘takaran biasa’ dan membuat saya harus lebih kreatif menghadapi mereka.

Superaktif vs Hiperaktif

Dalam keseharian kita lebih sering menemukan anak laki-laki yang lebih aktif dari anak perempuan. Tidak bisa duduk tenang, kaki dan tangan bergerak terus, tidak mengikuti instruksi, atau spontan berkomentar dan mengemukakan pendapat. Sering kali dicap sebagai pembuat onar (troublemaker) dan tidak disiplin karena akan memancing teman-teman lainnya untuk ikut beraksi.

Sejauh mana tindakan anak dianggap masih normal atau sudah masuk kategori hiperaktif? Anak superaktif adalah anak yang kelebihan energi, tidak memiliki gangguan dalam perilaku dan dalam hal konsentrasi. Ia bisa duduk diam beberapa jam ketika melakukan sesuatu yang ia minati seperti menyusun Lego atau puzzle, bermain game dan beberapa aktivitas lainnya.

image_4

Sementara anak hiperaktif memiliki ciri gangguan konsentrasi dengan hiperaktivitas. Coba perhatikan, anak yang hiperaktif akan terus melakukan kegiatan berulang-ulang tanpa ada maksud dan tujuan pasti, seperti: membuka dan menutup pintu berulang kali, menggerakkan kaki dan menendang barang di depannya, atau tangannya akan terus bergerak. Atau melakukan kegiatan A, B dan C tanpa satupun yang terselesaikan dengan baik. Yang satu belum selesai, sudah berpindah ke kegiatan lain. Anak superaktif justru bertindak sebaliknya. Gerakan atau kegiatan yang dilakukan memiliki tujuan dan maksud tertentu atau bahkan sudah direncanakan. Meskipun terlihat tidak bisa diam, namun ia bisa berkonsentrasi dan biasanya inteligensia juga lebih tinggi dari anak yang hiperaktif.
Gejala awal hiperaktif timbul sebelum usia sekolah, yakni sebelum usia 7 tahun. Awalnya memang sulit membedakan apakah perilaku anak masih dikatakan normal (superaktif) atau hiperaktif. Prinsipnya, jika anda menemukan hanya beberapa dari ciri hiperaktif pada anak dan timbul hanya sesekali saja, kemungkinan anak anda hanya superaktif.

image_3

Hiperaktif

Anak hiperaktif lebih sering menjadi problem bagi orang tua dan guru karena tindakannya mengganggu ketenangan lingkungan. Biasanya juga berdampak pada prestasi di sekolah, sering mendapat hukuman karena dianggap tidak tertib, sulit berteman ( tidak disukai oleh teman-temannya), bahkan bisa jadi target bully, karena dianggap mengganggu, akhirnya ia yang dibully sebagai tindakan balasan dari teman-temannya.

Simptom/gejala anak hiperaktif:

– Gelisah dan tampak tidak nyaman
– Sering meninggalkan tempat duduknya ketika diminta untuk duduk diam
– Terus bergerak dan suka berkeliling ruangan
– Suka berlari atau memanjat
– Sulit bermain dengan tenang dan rileks
– Bicaranya berapi-api
– Tampak terus ‘on’, tidak ada capeknya
– Cepat marah dan emosi

image_2

Selama ini, hal-hal yang dicurigai menjadi penyebab timbulnya hiperaktivitas pada anak, yakni:
– Tidak cocok pada makanan tertentu (food intolerance)
– Kadar gula darah yang rendah (hypoglycemia)
– Alergi
– Hipertiroid
– Masalah gizi
– Gangguan otak
– Kurang disiplin
– Kondisi dalam keluarga yang tidak kondusif (cekcok terus)
– Kecemasan
– Depresi
– Kurang tidur
– Obat-obatan
– Gangguan belajar.

Perhatikanlah kondisi anak jika terlihat sangat aktif dan tidak bisa diam. Bilamana gejalanya makin intens dan muncul pada setiap situasi: di rumah, di sekolah, di jalan, di mal, pada saat bermain, sebaiknya bawa anak untuk diperiksa lebih lanjut oleh profesional yang qualified dan berpengalaman. Terapis akan mendiagnosa sejauh mana tingkat keaktifan anak karena beberapa kasus bisa jadi mengarah ke Attention Deficit and Hiperactive Disorder (ADHD).

Si Tukang Bully

Kali ini saya akan mengulas bullying dari sisi pelaku bully itu sendiri. Apa yang membuat orang suka mem-bully? Jawaban yang sederhana adalah karena bullying menjadi langkah yang mudah, jalan pintas untuk mengatasi problem sosial mereka. Lebih mudah daripada mengontrol emosi atau mencoba memahami orang lain, menekan rasa iri atau problem lainnya.

Tidak hanya anak-anak atau remaja saja yang berpotensi menjadi pelaku bully, tapi juga orang dewasa. Pernahkah anda perhatikan seorang suami yang mempunyai ‘hobby’ memukul, membentak isteri atau anak-anaknya? Ia menunjukkan kekuasaan dengan sikap agresif, suara keras dan kata-kata kasar dan pada saat suasana mencekam seperti itu ia merasa menang dan dominan. Mungkin ada rekan kerja anda di kantor yang punya kebiasaan menyebar gosip, ‘menusuk’ dari belakang dengan menjelek-jelekkan orang lain, menyerang rekan dalam suatu rapat besar, memojokkan atau dengan sengaja mencari-cari kesalahan orang. Itu juga termasuk bullying.

Bagaimana Perilaku Bullying Terbentuk?

Seorang anak yang sejak kecil melihat atau mengalami bullying di rumah, misalnya sering dibentak, dilecehkan, diolok-olok, akan menyimpan semua ingatan kejadian itu dalam pikiran bawah sadar yang tidak akan terlupakan seumur hidupnya. Sikap bullying akan menjadi contoh bahwa kekerasan dapat membuat seseorang merasa lebih berkuasa apalagi jika pihak yang dibully itu menjadi takut dan tidak berani melawan. Mem’bully’ dianggap sebagai salah satu cara untuk mengatasi problem sosial. Cukup dengan menakut-nakuti orang lain, berbicara dengan nada tinggi dan kasar, ia akan disegani orang dan dapat mengontrol orang lain. Ini jelas perilaku yang sangat keliru untuk dicontoh dan seperti kita ketahui, anak-anak adalah peniru yang handal. Mereka akan meniru orang tuanya atau orang dewasa yang hadir dalam masa kanak-kanaknya.

Ada juga anak yang tidak pernah dididik cara mengelola emosi seperti menahan amarah dan mengatasi rasa frustrasi atau kecewa sehingga ketika merasa tidak aman dan terpojok, mereka akan menjadi agresif.

Dalam kejadian sehari-hari ada kalanya kita berjumpa dengan orang tua yang justru terlihat senang ketika anaknya mem-bully anak lain. Kisah berikut ini adalah pengalaman sahabat saya. Suatu sore ketika puteranya ingin bermain perosotan di taman, ada anak lain yang dengan sengaja menyerobot dan menghalangi. Putranya pindah mencari perosotan lain, eh…anak itu terus mengikutinya dan menghadang lagi. Ketika ditegur sahabat saya, si anak dengan tanpa rasa bersalah tetap tidak mau mengalah. Sementara itu, ibu si anak malah tersenyum bangga dengan kelakuan anaknya yang berhasil menyerobot. Heran!! Mungkin ia bangga karena melihat anaknya lebih berkuasa dan sukses menunjukkan gigi dan meraih apa yang diinginkan meskipun dengan cara yang tidak terpuji. Jelas tindakan anaknya sudah termasuk bullying tapi dibiarkan saja oleh orang tuanya. Bisa dibayangkan, si anak akan terbiasa menggunakan teknik bullying dalam pergaulan selanjutnya.
Anak-anak yang suka mem- bully, biasanya tidak banyak teman dan terlihat menyendiri karena ia tidak tahu bagaimana cara bergaul yang baik. Tidak ikut bermain di halaman sekolah, tidak ikut kumpul-kumpul dengan teman di kantin atau bahkan berbagi bekal sekolah.

Jangan Mem-bully

Anak sebaiknya diberitahu tentang apa yang dimaksud dengan bullying sejak dini.

Bullying itu memukul,menjambak, mendorong teman.
Bullying itu memaksa orang lain melakukan apa yang mereka tidak suka lakukan.
Bullying itu mengambil dengan paksa atau merusak barang milik orang lain.
Bullying itu mengolok-olok teman, memanggilnya dengan nama julukan yang buruk dan membuat teman malu.
Bullying itu menjelek-jelekkan teman.
Bullying itu meminta uang dengan paksa pada teman.
Bullying itu berbicara dengan suara keras dan membentak-bentak teman.
Dan contoh-contoh perilaku bullying lainnya.

f01ee30aec9e44388edff7c3964abe6c

Tekankan pada anak bahwa semua perilaku bullying itu tidak baik, tidak terpuji dan tidak boleh dilakukan. Perlakukan temanmu dengan baik, jika teman tidak mau bermain denganmu atau meminjamkan mainannya, jangan dipaksa, dimarahin atau dimusuhin.

Anak harus belajar menerima keadaan yang tidak sesuai dengan kemauannya.
Pernah ada satu kejadian yang cukup merepotkan saya, dipanggil menghadap guru karena putera saya mengganggu temannya dan telah dua kali menusuk ujung jari temannya dengan pensil. Ketika itu ia masih di TK Besar. Ditegur baik-baik di rumah ternyata tidak mempan, akhirnya suatu kali saya ambil pensil dan saya tusukkan ke ujung jarinya. Ternyata, setelah merasakan bagaimana sakitnya ditusuk pensil, akhirnya ia mengerti mengapa temannya menangis dan takut. Sejak itu ia tidak pernah mengganggu lagi dan bahkan dengan tulus meminta maaf pada temannya itu.

Ajarkan sikap bertanggungjawab dalam segala hal dan bersedia menerima konsekuensi jika melalaikan tanggung jawab. Tidak mau bangun lebih pagi, ia akan terlambat sampai di sekolah dan harus bersedia dihukum berdiri di depan gerbang atau mendapat sanksi harus piket kelas dan pulang lebih telat 30 menit dari teman-temannya. Jika pe er belum dikerjakan, ia tidak boleh bermain sepeda atau menonton acara tv favoritnya. Putera saya juga pernah dihukum tidak dapat bonus bermain game saat pelajaran komputer di sekolah karena ia tidak tertib dan asik ngobrol ketika mengerjakan tugas komputer. Didik anak mempunyai sifat bertanggungjawab, disiplin dan bisa mengontrol diri.

Ajarkan juga untuk berbagi. Jika ia ingin merasakan isi bekal yang dibawa temannya, ia harus menawarkan bekal yang ia bawa. Jadi tidak merebut atau meminta paksa bekal temannya. Atau jika ia tidak membawa uang jajan, ia boleh pinjam uang temannya dan berjanji untuk menggantinya, bukannya memalak teman. Keahlian sosial (social skills) seperti ini perlu diajarkan pada anak sejak dini.

Perhatikanlah, anak yang mem-bully temannya, cenderung merasa perbuatannya itu tidak salah. Mereka akan membela diri dengan mengatakan temannya yang salah dan layak untuk di-bully. Biasanya mereka suka melaporkan tingkah laku temannya yang ia rasa merugikannya. Di sinilah tugas orang tua atau guru untuk meluruskan kekeliruan pandangannya.

Orang tua perlu selalu menjalin komunikasi yang baik dengan guru di sekolah atau guru di tempat les agar tingkah laku anak senantiasa terpantau. Jika ada perilaku yang mengarah pada bullying, segera dapat ditangani sebelum menjadi suatu kebiasaan yang akan terus dilakukan hingga dewasa.

Bully Di Internet

Apakah anda seorang tukang bully tapi tak menyadarinya? Ingatlah, anda tak menjadi besar dengan mengecilkan orang lain. Klik gambar di bawah ini untuk melihat lebih jelas. Mari kita memeriksa diri sendiri dan menjadi orang yang lebih baik lagi.

 f306b875aa4bab0e3fbdcacef6926013

Bullying: Bukan Masalah Sepele

Akhir-akhir ini, bullying menjadi topik yang semakin sering dibicarakan karena banyak kasus yang muncul dan berdampak pada perkembangan kepribadian anak. Ini bukan persoalan sepele dan sudah sewajarnya orang tua dan guru lebih peka dan mampu mendeteksi kemungkinan terjadinya bullying.

f4e395fc51b1772f0faf7c478aaade2e

Saya tidak menemukan padanan kata yang pas dalam bahasa Indonesia untuk menggantikan kata bullying. Bullying bisa diartikan sebagai tindakan agresif yang mengancam, intimidasi, atau penindasan terhadap pihak yang menjadi korban. Biasanya tindakan ini sudah terjadi berulang kali yang dimaksudkan untuk melukai orang lain, baik secara fisik maupun psikis. Tujuannya untuk menunjukkan kekuasaan yang lebih besar dari si korban.

Beberapa tahun yang lalu, salah satu anak les saya, ketika itu ia masih duduk di kelas 2 SD, terlihat murung dan menjadi semakin pendiam. Prestasi di sekolah menurun. Saya mencoba mengajaknya bicara baik-baik dan akhirnya ia mengatakan dendam pada temannya W dan ingin punya pistol dan menembak tepat di kening W, hingga berdarah-darah dan langsung meninggal. Duh….saya terperanjat mendengarnya karena ia mendeskripsikan dengan detil apa yang akan dia lakukan pada temannya itu. Ini menunjukkan ia sudah sangat terluka. Selama ini ternyata W sering mengganggunya. Mendorongnya di tangga, menjambak rambutnya, merebut alat tulisnya, menarik kursinya hingga ia terjerembab ke lantai dan pernah juga menusuk tangannya dengan pensil. Saya segera melaporkan masalah ini pada orang tuanya dan minta izin untuk melakukan tes psikologis pada puteranya. Dari hasil tes, terlihat banyak trauma dan emosi negatif yang muncul.

Saya menyarankan orang tuanya untuk segera menghadap wali kelas dan kepala sekolah untuk menggali lebih lanjut. Ternyata selama ini orang tuanya tidak pernah tahu jika puteranya mengalami bullying di sekolah. Ibunya justru menjadi sering marah karena nilainya merosot. Anak semakin terpuruk dan menarik diri. Tidak berani menyampaikan kejadian yang sebenarnya ia alami. Pernah beberapa kali si anak mengeluh sakit perut, sakit kepala, pusing, muntah-muntah di pagi hari dan tidak mau sekolah.

Pihak sekolah bersedia bekerja sama dengan memanggil orang tua W. W ditegur dan dipindahkan ke kelas sebelah, wali kelas menjadi lebih perhatian. Orang tua juga merubah sikap dan lebih perhatian pada puteranya. Selang beberapa bulan kemudian, anak menjadi lebih terbuka dan mau bercerita kejadian sehari-hari pada orang tuanya. Prestasi di sekolah meningkat dan si anak kembali ceria setelah kasus bullying ini ditangani dengan baik.

Karakteristik Bullying

Bullying biasanya dilakukan oleh orang yang lebih berkuasa terhadap korban yang lebih lemah atau rendah posisinya. Secara umum, bullying meliputi kekerasan secara verbal, emosional dan fisik.

Menurut data US National Center for Education Statistics (2007), sekitar 32% anak-anak sekolah di Amerika mengalami bullying. Di Indonesia belum ada data yang jelas karena sering korban tidak terdeteksi atau tidak melapor.

Pada dasarnya bullying dibagi dalam dua kategori:

1. Direct bullying – biasanya berupa penyerangan fisik seperti memukul, mendorong, melempar barang, menampar, meninju, menyepak, menusuk, menjambak , menggigit, dan lain sebagainya.

2. Indirect bullying – mengucilkan korban, menyebarkan gosip, memprovokasi teman lain untuk menjauhi dan tidak berteman dengan korban, mengkritik berlebihan segala perilaku korban seperti cara berpakaiannya, cara jalannya, dandanannya atau bahkan barang yang dipakai korban, memanggil korban dengan nama julukan yang tidak pantas didengar. Indirect bullying sering kita jumpai pada remaja.

Sekarang ini cyberbullying sudah makin sering ditemui. Korban diteror dengan kiriman-kiriman pernyataan yang mengganggu, mengunggah foto ke media sosial yang menyudutkan dan membuat malu korban. Dengan semakin berkembangnya teknologi di mana internet dapat dengan mudah diakses melalui telepon genggam, membuat cyberbullying lebih ‘mengerikan’ dari bullying di dunia nyata. Biasanya bullying di dunia nyata, seperti di masa-masa sekolah, akan berakhir ketika remaja itu meninggalkan bangku sekolah. Sedangkan cyberbullying akan terus berlanjut dan bahkan bisa menjadi semakin parah. Mungkin anda pernah mendengar kasus seorang gay yang diolok-olok temannya via internet hingga ia sedemikian tertekan dan akhirnya bunuh diri. Sungguh fatal akibatnya.

Berikut ini fakta-fakta hasil survei di Amerika tentang cyberbullying:

1. Hampir 43% anak-anak pernah dibully via internet dan 1 dari 4 anak dibully lebih dari sekali.
2. 70% anak melapor bahwa mereka sering melihat temannya dibully teman lain via internet.
3. 68% remaja mengakui mereka sangat tertekan jika menjadi korban cyberbullying.
4. Hanya 1 dari 10 korban yang berani melaporkan kepada orang tuanya bahwa mereka menjadi korban cyberbullying.
5. Anak perempuan dua kali lebih banyak menjadi korban.
6. Para korban bullying mengakui 2 hingga 9 kali lebih ingin bunuh diri karena dipermalukan di internet.

6e72d2e2ba648934b64f49028412cb30

Ada dua alasan utama mengapa orang menjadi korban bully, yaitu penampilan dan status sosial. Seperti kasus salah satu keponakan saya yang pernah dibully teman-temannya ketika masih duduk di kelas 11 di salah satu SMA khusus puteri di Jakarta. Cantik, pintar, aktif dalam berbagai kegiatan, supel, dan tentu saja menjadi primadona di sekolah. Ada teman yang iri dan menjadi provokator teman-teman lain untuk memusuhinya, mengucilkan, menebar isu dan juga melakukan cyberbullying. Setiap kali ada tugas kelompok, tidak ada yang bersedia satu kelompok dengannya. Tidak diajak dan diundang ke pesta ulang tahun teman atau sekedar hang out. Bagi remaja, dikucilkan adalah hal yang paling memukul mereka. Ia jadi sering menangis, mengurung diri di kamar, mulai banyak alasan sakit perut, sakit kepala dan macam-macam agar tidak ke sekolah hari itu. Prestasi di sekolas jelas merosot tajam. Puncak dari semua tekanan itu, ia minta pindah sekolah.

f37a91c2c224c23dca6c2c6fb25d3138

Ketika orang tua melaporkan kasus ini ke pihak sekolah, guru BP justru dengan tegas menepis dan mengatakan tidak mungkin ada kejadian bullying di sekolah mereka yang terkenal dengan disiplin tinggi. Setelah disodorkan bukti berupa print out dari semua teror yang dilancarkan via sms, chat, dan facebook; guru dan kepala sekolah terperangah dan tidak bisa berkelit lagi. Akhirnya kasus ini berhasil ditangani dengan baik atas kerjasama semua pihak. Memasuki kelas 12, keponakan saya ini sudah kembali ceria dan lulus dengan baik.

Tanda-tanda Korban Bully

Orang tua, guru, atau pelatih sebaiknya peka terhadap perubahan perilaku anak asuhnya.

Ada beberapa tanda umum yang biasa ditemui pada korban bully:

1. Mendadak murung dan menarik diri, sering menangis dan sedih (tanda depresi)
2. Menghindari hadir dengan alasan sakit perut, sakit kepala, pusing dan lain sebagainya.
3. Tanda-tanda fisik seperti lebam, kulit tertusuk, bekas cakaran di tangan atau bagian lain.
4. Pada anak usia SD, biasanya akan sering kehilangan kotak makanan, botol minum, alat tulis atau bahkan uang jajannya.
5. Anak tiba-tiba sering tergagap-gagap atau tampak ketakutan ketika ditanya.
6. Tidak lagi pergi ke kantin, perpustakaan atau bermain di halaman sekolah. Lebih suka menyendiri di kelas.

Tips Menghindari Bullying

– Hindari orang yang membully dan usahakan selalu berada dalam kelompok bersama dengan teman-teman yang lain.
– Ajarkan anak untuk bersikap tenang, tidak memperlihatkan rasa takut, berjalan dengan tegak dan tidak menundukkan kepala dan tidak tergesa-gesa jika melihat si tukang bully ada di sana. Biasanya tukang bully akan bereaksi jika anak kelihatan takut, lemah dan tidak berdaya.
– Jangan ajarkan anak untuk membalas serangan fisik karena kemungkinan si tukang bully akan menjadi lebih beringas. Lebih baik segera melaporkan kepada guru atau orang dewasa lainnya yang ada di lingkungan itu.
– Yakinkan pada anak bahwa anda selalu menyayanginya dan segala apa yang meresahkan atau membuatnya takut, lebih baik diceritakan agar bisa segera ditangani.

93952a7f8a58511ecaa1df18b3f95325

Mengatasi Cemas Pada Anak

Pada tulisan sebelumnya, sudah dibahas tentang kecemasan secara umum. Bukan hanya orang dewasa yang mengalami kecemasan, tetapi anak juga mengalaminya. Mari kita telaah lebih lanjut mengenai kecemasan pada anak.

Lebaran tahun lalu, saya membujuk putera bungsu, 7 tahun, untuk berangkat naik pesawat sendiri ke Jakarta agar ia bisa berlibur lebih lama di sana. Butuh waktu beberapa minggu untuk mempersiapkan mentalnya sebelum hari keberangkatan. Ini kali pertama ia berangkat sendiri, tanpa ditemani. Saya tahu ia cemas dan hampir setiap hari bertanya hal yang sama. Aku harus bayar di mana tiketnya, Ma? Aku harus tulis namaku ga? Aku ga bisa tanda tangan lho Ma. Nanti sesudah dapat nomor kursi, aku nunggu di mana? Aku harus bilang apa sama Tante pramugari itu kalau ditanyain mamanya mana? Gimana caranya ambil barangku yang di bagasi pesawat? Trus nanti  kalau aku ga bisa buka penutup makanan yang dibagikan di pesawat,  gimana?  Bla bla bla…segudang pertanyaan yang harus saya jawab dengan sabar agar ia tidak gamang.  Satu malam sebelum hari keberangkatannya, ia gelisah dan tidak bisa tidur. Pada hari H, ia bolak balik ke toilet di ruang tunggu bandara hingga saatnya dijemput  staf airline untuk naik pesawat. Dengan dikalungi kertas bertuliskan Unaccompanied Minor, jagoan saya akhirnya berangkat dan berhasil mengatasi rasa cemasnya terbang sendiri. Untuk keberangkatan kedua, ketiga dan seterusnya, ia pe de sekali dan sangat bangga karena berani berangkat sendiri.

Jenis-jenis Kecemasan Pada Anak

10-20% anak usia sekolah mengalami kecemasan. Angka itu meningkat terus dengan makin banyaknya tekanan dan tuntutan terhadap anak-anak masa kini. Saat musim ujian, maju presentasi di depan kelas, mengisi acara di sekolah, atau pindah sekolah, akan memicu kecemasan pada anak. Akan timbul banyak kekhawatiran dalam pikirannya:

          Gimana kalau aku lupa teksnya di panggung?

          Gimana kalau aku ga keburu menyelesaikan kelimapuluh soal ujian itu?

          Gimana kalau aku belum hafal perkalian?

          Gimana kalau aku jatuh dari sepeda dan semua orang menertawakanku?

          Gimana kalau teman-teman di sekolah baru itu tidak mau berteman dengan aku?

          Gimana kalau mama tidak datang menjemputku?

          Gimana kalau anjing itu menggigitku?

          Gimana kalau papa mama meninggal?

Kecemasan pada anak kurang lebih sama dengan yang dialami oleh orang dewasa, namun ada beberapa tipe kecemasan yang lebih sering kita temui pada anak:

Separation Anxiety Disorder

Anak usia delapan belas bulan hingga usia pra sekolah biasanya akan menangis dan ketakutan bila ditinggalkan sendiri atau berada di lingkungan yang asing. Jika ketakutan  itu terus muncul hingga usia 7 – 9 tahun, baru dikategorikan dalam gangguan kecemasan berpisah (separation anxiety disorder). Gejalanya termasuk tidak mau ke sekolah, enggan ikut acara outing sekolah, tidak mau diajak menginap di rumah orang lain jika tidak ditemani oleh yang biasa momong, enggan bepergian sendiri.

Post-traumatic Stress Disorder (PTSD)

Anak yang pernah mengalami trauma, akan sering merasa cemas dan takut, menjadikannya mudah marah, mudah mengamuk, diam seribu bahasa atau selalu menghindari tempat  atau orang yang dapat mengingatkannya pada trauma tersebut. Contohnya anak yang pernah melihat ibunya dipukul oleh ayah,  kakaknya dipukul dengan bertubi-tubi, kecelakaan lalu lintas, melihat anjingnya kesakitan karena tertabrak kendaraan, dan lain sebagainya.

Social Anxiety Disorder

Gangguan kecemasan sosial disebut juga dengan istilah fobia sosial. Gejalanya adalah takut maju ke depan kelas untuk presentasi, menyanyi atau dites lisan, atau cemas bagaimana harus memulai pembicaraan dengan teman baru dan grogi berada di lingkungan baru.

Selective Mutism

Kadang-kadang anak mendadak menjalankan aksi diam, membisu, jika dihadapkan pada suatu situasi. Kondisi ini disebut selective mutism. Wajahnya terlihat tanpa ekspresi, menghindari kontak mata, memainkan ujung rambutnya, memalingkah wajah, cenderung  menyendiri untuk menghindari percakapan.

Pada tempat atau situasi lain yang dirasakan nyaman baginya,  anak akan ceria seperti biasanya. Asik bercerita, tertawa dan aktif bergerak. Orang tua pasti bingung ketika dilaporkan guru soal anaknya yang selalu diam, tidak mau menjawab pertanyaan apapun di kelas. Gangguan kecemasan jenis ini biasa ditemui pada anak usia 4 – 8 tahun.

Sebulan yang lalu saya dipanggil menghadap guru Bahasa Inggris putera bungsu saya. Kasusnya karena ia tidak mengerjakan ulangan mingguan, tidak mau maju ke depan kelas untuk tes lisan, tidak mau menjawab apapun ketika ditanya guru. Padahal  pelajaran Bahasa Inggris adalah favoritnya dan biasanya aktif tunjuk tangan dan selalu menjadi yang pertama untuk maju ke depan kelas. Menjadi pe er buat saya waktu itu untuk menggali apa yang menjadi latar belakang sikap ’mogoknya’.

Specific Phobias

Anak memiliki fobia yang spesifik seperti  takut meloncat dari tempat yang tinggi, takut masuk air, takut petir, takut melihat darah, takut kegelapan, takut dikejar anjing, takut duduk di pasir dan banyak lagi.

Tips Mengatasi Kecemasan Pada Anak

1.    Dorong anak untuk menghadapi kecemasan/ketakutannya.

Ajak anak untuk menuliskan di kertas apa yang dia cemaskan saat itu dan berikan penjelasan logis jika poin-poin kecemasannya tidak rasional. Kemudian ajak anak untuk ‘menantang’ hal-hal yang membuatnya cemas dan melihat apakah betul apa yang dicemaskan itu sejelek yang ia pikirkan?

 2.    Katakan pada anak bahwa sekali-kali mendapat nilai jelek adalah hal yang biasa.

Anak sering merasa terbebani karena harus mendapat  nilai sempurna dan menonjol di lingkungannya. Takut dimarahi orang tuanya jika hasil ulangan kali ini tidak mencapai nilai minimal kelulusan (KKM) dan harus remedial.

 3.    Ajak anak untuk ikut kegiatan yang menyenangkan seperti naik sepeda, main bola di taman, ikut kelas memasak, melukis dan lainnya. Kegiatan yang menyenangkan  akan membantu anak menjadi rileks dan lepas sejenak dari rutinitasnya.

 4.    Berikan reward  setiap kali anak berhasil mengatasi kecemasan/rasa takutnya. Dipuji, dipeluk atau diberi hadiah kecil akan membuatnya senang dan merasa bangga karena ternyata ia berani. Putera saya sangat bangga setiap kali ada yang memuji betapa beraninya ia naik pesawat sendiri, tanpa ditemani mama atau papanya.

5.    Tentukan jadwal tidur yang teratur. Tidur pada waktu yang sudah ditetapkan setiap harinya dan ciptakan ritual sebelum tidur. Saya membiasakan anak-anak  untuk membaca buku sebelum tidur dan harus tidur sebelum jam sepuluh malam pada hari-hari sekolah. Anak akan terkondisi pada jadwal yang teratur dan tidak sulit untuk tidur jika sudah terbiasa. Jadwal yang teratur akan membuatnya rileks dan mengurangi kecemasannya.

6.    Pretend Play  (Bermain Simbolis)

Untuk mengurangi kecemasan seperti takut ke dokter atau ke rumah sakit untuk periksa kesehatan, anak bisa diajak bermain simbolis sebelumnya. Misalnya bermain dokter-dokteran, anda seolah-olah menjadi dokter giginya, anak menjadi pasien. Perkenalkan cara-cara dan langkah yang biasa dilakukan dokter gigi pada waktu memeriksa pasien. Bisa juga diawali dengan membeli buku atau mengajak anak nonton dvd tentang suasana di ruangan dokter ketika dilakukan pemeriksaan. Setidaknya anak sudah punya bayangan bagaimana dan apa yang akan dilakukan dokter terhadapnya. Beberapa penelitian membuktikan efektivitas dari bermain simbolis ini dalam mengurangi kecemasan anak.

cb0b93d8be0a79fcd50c257b27519572

 Saat pertama kali mengajak putera saya untuk cabut geraham susunya ke dokter gigi, saya menyiapkan mentalnya dengan berbagai cerita teman sebayanya yang tidak takut cabut gigi. Dokter akan mengoleskan obat anti sakit dulu, jadi waktu dicabut akan berasa sakit sedikit saja, bla bla bla. Setahun sebelumnya, ia pernah bermain peran menjadi dokter gigi di Kidzania dan menggunakan alat-alat yang mirip dengan aslinya. Ternyata pengalaman bermain  peran saat itu sangat membantu mengatasi rasa takutnya saat ia benar-benar harus duduk jadi pasien.

 7.    Katakan pada anak untuk selalu terbuka dan berbagi rasa takut atau cemasnya agar orang tua dapat membantu mengatasi rasa cemas itu.

 8.    Tunjukkan sikap tenang. Anak cenderung untuk meniru sikap orang tua dalam menghadapi ketakutan atau kecemasannya. Perlihatkan bahwa anda tidak panik dan gelisah meskipun ada masalah.

 9.    Latih anak untuk relaksasi. Tarik nafas panjang, hembuskan. Lakukan beberapa kali hingga terasa nyaman dan tenang. Anak bisa dilatih untuk relaksasi visual seperti: Pejamkan matamu, Nak. Bayangkan sedang berada di tempat bermain, taman yang luas atau pantai yang indah. Dengarkan suara debur ombak. Sesuaikan dengan apa kesenangan si anak. Relaksasi visual dapat meredakan ketegangan.

 10.Ajarkan juga doa pendek yang dapat ia ucapkan setiap kali timbul rasa cemas/takut.

 11.Anak perlu diyakinkan bahwa apa yang ia cemaskan itu tidak sejelek yang ia pikirkan. Biasanya mereka akan berulang kali menanyakan hal yang sama sampai mereka yakin dan berani, seperti:

          Mama pasti datang jemput  aku kan? (beritahukan juga alternatif bagaimana harus bersikap seandainya anda telat atau karena sesuatu hal tidak dapat menjemputnya)

          Petir itu tidak akan datang lagi?

          Apakah teman-teman baru itu mau berteman dengan aku?

          Mama ga marah kalau nanti nilaiku cuma 70?

Ada anak yang menggunakan teknik menghindar (avoidance) dari sumber rasa cemas/takutnya. Sikap menghindar  kadang-kadang membantu anak untuk mengatasi rasa cemasnya. Misalnya, takut melihat anjing yang beringas, anak akan berusaha menghindari anjing itu. Tidak berada di dekat anjing atau objek yang membuatnya takut. Takut tidak dapat mengerjakan ulangan, ia akan pura-pura sakit perut dan tidak mau ke sekolah. Takut suara petir, ia akan pura-pura tidur sambil menutup telinga dengan bantal. Akan tetapi jika anak selalu menggunakan teknik menghindar, anak tidak akan terlatih untuk mengontrol emosinya sendiri.  Tujuan utama dari pembahasan soal kecemasan pada anak adalah bagaimana kita membantu anak untuk mengelola emosinya, mengelola rasa cemas atau rasa takutnya.

261eee2f44905a952ca2d90764af3ccd

 

Mengenal Minat Dan Bakat Anak

Saya  dianugerahi tiga putera dengan rentang usia saat ini antara 7 – 17 tahun. Tiga anak, meskipun dari ‘pabrik’ yang sama, masing-masing memiliki tipe kepribadian dan minat yang berbeda. Banyak hal membuat saya terkesan melihat anak-anak itu tumbuh dari satu tahap ke tahap berikutnya.

Putera sulung saya sejak usia 2 tahun sudah tertarik dengan mobil balap dan segala sesuatu yang berhubungan dengan otomotif dan balapan. Menjadi partner tetap papanya setiap kali menonton acara MotoGP atau Formula One di TV dan hafal semua nama pembalap, sirkuit dan tunggangannya. Ketika usia 5 tahun, ditanya Kak Seto pada suatu acara workshop anak, apa cita-citanya kelak,  dengan penuh percaya diri, dia menjawab: “Buka bengkel”. Uppsss….jawaban yang tidak disangka-sangka. Semua yang hadir terperangah dan tidak dapat menahan senyum karena jawaban anak-anak peserta lain rata-rata seragam: menjadi dokter, insinyur, atau jadi Superman, Batman. Setelah di bangku SD, keinginan berubah menjadi pembalap mobil. Ketika tahu hati mamanya ciut karena cita-citanya jadi pembalap,  dia mengajukan plan B,  jadi pilot. Tetap minat pada pekerjaan dengan adrenalin tinggi.

Putera kedua, senang dengan pernak pernik, soft toys, hal-hal yang berhubungan dengan masak memasak dan kerajinan tangan. Cita-citanya, buka toko roti dan supermarket. Tipe yang lebih perasa dan berhati lembut. Paling senang jika diberi izin mengaduk adonan atau membentuk bakpao, cetak mencetak cookies dan sebagainya.

Si bungsu, ahli urusan bongkar pasang mainan dan baru bisa tenang ketika main lego atau menyusun puzzle. Lego aneka set akan dikombinasikan dan dirakit menjadi item lain yang beda dengan yang di buku panduan. Awalnya dia akan membuat robot atau piranti sesuai manual, kemudian dirombak dan digabung dengan lego dari set lain, jadilah item baru yang sesuai dengan inspirasi sendiri. Cita-citanya jadi pilot juga. Sangat suka naik pesawat dan sering minta izin untuk melihat ruang cockpit, mungkin karena membayangkan suatu hari dia akan duduk di bangku pilot. Saat pesawat lepas landas dan mendarat, melihat katup sayap pesawat yang terangkat, lampu di kabin diredupkan, tidak boleh berjalan-jalan di koridor, harus duduk manis dengan seatbelt terpasang, dan hal-hal lain yang selalu menarik perhatiannya.

Mengenali Tipe Anak

Sebagai orang tua, salah satu tugas kita adalah memantau dan mengarahkan setiap perkembangan karakter. Mencari tahu apa minat dan talenta yang dimiliki anak dan membantu mengasahnya. Jika perlu diberikan les tambahan untuk memaksimalkan minat dan bakat anak.

 Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan minat anak, sebelum memutuskan anak perlu diberikan les tambahan apa.

1.      Suka Lego atau Puzzle.

·         Menandakan anak tipe kinestetik. Anak belajar sambil mengerjakan sesuatu. Tipe yang praktis dan imajinatif, menggunakan visualisasi mental untuk mengingat sesuatu.

·         Berikanlah les yang bersifat desain, merakit sesuatu, tebak kata untuk  mengasah kreativitas dan rasa percaya dirinya.

·         Untuk menyeimbangkan, berikan juga les yang lain seperti menyanyi dan drama agar kemampuan auditorinya juga ikut berkembang. Perkuat kemampuan visual dengan les menggambar.

 puzzle

2.      Suka bergaya bak peragawati dan senang menjadi pusat perhatian

·         Tipe anak yang berani dan sangat percaya diri untuk tampil di depan umum.

·         Berikanlah les drama, tari atau vokal atau memainkan alat musik.

 dress up

3.      Suka mengutak-atik dan membuat pekerjaan tangan

·         Tipe seniman yang kreatif dan ahli dengan tangannya. Berikan les menggambar, melukis, membuat tembikar (clay), fotografi,  memasak atau menjahit. Sebagai penyeimbang, karena melakukan kegiatan-kegiatan di atas lebih banyak dengan menyendiri, berikan juga kelas drama, paduan suara atau kegiatan lainnya yang memberikan kesempatan bagi anak untuk bersosialisasi.

 kid craft

4.      Suka olah raga

·         Tipe anak yang enerjik dan periang. Mencari stimulasi melalui kegiatan fisik dan biasanya tipe anak ekstrovert. Ajak anak ikut dalam klub sepak bola, basket atau olah raga lain yang diminatinya.

 kid sport

5.      Pemalu

·         Anak pemalu biasanya kurang percaya diri jadi hal pertama yang dilakukan adalah mengajarkan kemampuan verbalnya agar anak lebih mudah untuk mengekspresikan apa yang diinginkan. Setelah itu masukkan ke kelas-kelas yang anggotanya tidak terlalu banyak agar anak belajar untuk beradaptasi.

 

6.      Suka main game dan terpaku pada Ipad atau Tabs

·         Menunjukkan anak yang pasif dan tidak tertarik untuk mengeksplorasi lingkungan. Meskipun bermain game itu tidak selalu buruk, karena game bisa  membantu anak untuk fokus dan melatih koordinasi tangan dan mata, melatih strategi dan perencanaan (bagaimana untuk menang dan mendapatkan skor tinggi).

·         Masukkan anak ke klub permainan atau olah raga yang membutuhkan kerja sama tim untuk melatih kemampuan sosialisasinya bagaimana harus tenggang rasa,  menekan ego, berbagi.

7.      Suka Membaca

·         Anak yang suka membaca biasanya tipe introvert, tertutup dan tidak banyak bicara. Lebih suka sendiri dan tidak mau diganggu. Masukkan anak ke kelas bahasa, kelompok pencinta buku, mendongeng (storytelling classes) atau menjadi anggota dari klub buku.                     

·         Untuk mengimbangi, daftarkan anak ikut kegiatan olah raga atau drama yang memberikan kesempatan baginya bertemu dan bermain dengan teman sebaya.

 kid read

8.      Suka Mengikuti Gerakan Tarian

·         Anak memiliki kemampuan koordinasi gerakan yang baik. Masukkan anak ke kelas menari dan musik untuk melatih kemampuannya mengontrol gerakan dengan tempo yang tepat.

 kids dance

9.      Suka Bernyanyi

·         Sensitif dengan suara dan memiliki kemampuan apresiasi yang baik terhadap musik dan nyanyian. Masukkan anak ke kelas vocal atau belajar memainkan alat musik yang diminati untuk melatih kemampuannya menyelaraskan tempo dan irama.

·         Anak-anak seperti ini cenderung memiliki perasaan yang lebih sensitif karena unsur emosinya kuat. Sebagai penyeimbang, berikan juga kegiatan yang mengembangkan kemampuan logika seperti les matematika, les sempoa, les sains atau berlatih puzzle.

kid sing 

10.  Tidak Bisa Diam – Aktif

·         Cepat bosan, tidak sabar dan selalu butuh stimulasi konstan untuk menarik perhatiannya. Anak tipe aktif memiliki banyak enerji dan baik disalurkan dengan mengikuti kegiatan fisik seperti berenang, sepak bola, bersepeda, berlari, dan lain sebagainya.

·         Ajak anak untuk belajar sambil bermain karena mereka tidak akan betah diminta untuk duduk manis dan diam membaca. Anak diberi waktu untuk membaca dan nantinya  diminta untuk menceritakan kembali apa isi bacaannya.

·         Bermain game di komputer atau Ipad juga dapat membantu anak belajar konsentrasi untuk menyelaraskan koordinasi tangan dan matanya.

Jika kita mengenal bakat dan minat anak, les tambahan atau kegiatan yang mendukung, hasilnya  akan menjadi jauh lebih efektif daripada anak diberikan les tambahan yang  (sebenarnya) merupakan obsesi orang tua semata. Hanya karena anak tetangga les piano, anak anda juga dileskan piano, padahal anak tidak berminat sama sekali. Jadi bisa dibayangkan anda bakal sering bersitegang dengan anak agar dia mau latihan di rumah.