Pentingnya Memiliki Teman

Barusan saya buka profil facebook untuk melihat berapa jumlah teman saya di media sosial ini. Ternyata tidak sampai 200 nama yang tertinggal dalam daftar teman. Ini jumlah teman yang aktif berkomunikasi dan saling menyapa dengan saya. Lumayan lah, melebihi angka minimum 150 teman yang disebutkan sebagai angka rata-rata hubungan sosial yang dapat dipertahankan oleh tiap individu.

Angka 150 disebut Dunbar’s Number karena seorang peneliti, Robin Dunbar, menemukan korelasi antara ukuran otak primata dengan jumlah orang dalam kelompok sosialnya. Dunbar’s Number ini diterjemahkan sebagai jumlah teman yang ingin anda ajak untuk minum kopi bersama di kafe sambil ngobrol.

Tidak perlu dipertanyakan lagi sejauh mana pengaruh punya teman atau tidak dalam kehidupan sosial kita. Teman merupakan salah satu syarat utama yang wajib dimiliki untuk membuat hidup kita lebih berarti, membuat pikiran lebih sehat terlebih untuk kelompok yang semakin berumur.
Banyak penelitian neurosains yang membuktikan bahwa orang yang tetap memiliki hubungan sosial akan melindunginya dari proses dementia (pikun):

  • Wanita dengan lingkaran pertemanan yang luas, punya resiko penurunan kognitif yang lebih rendah ketika usia bertambah.
  • Kesepian menyebabkan resiko dementia menjadi dua kali lipat.
  • Keikutsertaaan dalam banyak kegiatan yang berbeda akan menambah daya tahan otak (brain resilience).

Profesor Timothy Smith mengatakan kemajuan teknologi membuat individu merasa tidak perlu dan tidak butuh berteman dalam arti sebenarnya. Kita jadi cenderung menyepelekan hubungan sosial (take for granted). Padahal, interaksi yang konstan tidak hanya berguna secara psikologis tapi juga bagi kesehatan fisik.

Bagaimana dinamika interaksi dengan orang lain bisa mempengaruhi daya tahan otak? Para neurosaintis sering membahas tentang ‘cadangan kognitif’, sejauh mana pikiran menggerus daya tahan otak. Interaksi antar manusia seperti tabungan yang membuat otak terus berfungsi. Kehidupan sosial yang sehat menuntut pikiran, perasaan, nalar dan intuisi. Keempat unsur itu membentuk cadangan sel otak yang sehat dan menambah susunan/formasi antar neuron di dalam otak kita. Jadi teman-teman yang baik dan cocok dengan kita perlu dipertahankan karena teman-teman inilah yang membuat kita hidup lebih lama.

Ada meta analisis dari 148 penelitian yang melibatkan 300.000 orang selama 7 tahun dan menyimpulkan bahwa orang-orang yang mempunyai hubungan sosial yang kuat dan baik, memiliki kemampuan bertahan hidup (survival) yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang hubungan sosialnya kurang baik. Kondisi ini berkaitan dengan faktor kesepian.

Kondisi ketiadaan interaksi sosial setara dengan keadaan seperti di bawah ini:
– Merokok 15 batang per hari
– Alkoholik
– Lebih merugikan daripada sama sekali tidak berolahraga
– Dua kali lebih buruk daripada obesitas.

Jadi, sisi positif yang kita peroleh dari berteman bisa disimpulkan dalam beberapa poin:

  1. Melindungi kita dari proses dementia : Usahakan ikut kelas ketrampilan untuk mengasah hobi dengan mengajak teman-teman, seperti kursus menjahit, menyulam, melukis, menghias kue tart dan lain-lain. Ibu teman saya yang sudah berusia 70 tahun, mengikuti kursus piano dan sangat menikmati kegiatan baru ini.
  2. Membuat hidup lebih panjang (lama) :  Perluas jaringan pertemanan anda. Masuk dalam satu komunitas tertentu yang sesuai dengan hobi. Anda akan merasa lebih ‘in’ ketika berada dalam lingkaran teman yang punya selera dan hobi yang sama. Saya memperluas pertemanan dengan lebih aktif di dunia maya dan berinteraksi dengan teman baru yang satu ‘aliran’ atau satu selera. Ternyata tidak kalah menyenangkan dengan teman yang kita temui dalam pergaulan sehari-hari.
  3. Mengurangi stres : Buatlah janji dengan teman untuk berbelanja bersama, ke salon, memasak, ke bengkel atau sekedar mengunjungi teman lain yang sedang sakit atau bertemu dengan teman lama yang sedang berada di kota anda.
  4. Saling mendukung dan memberi semangat : Ingin lebih disiplin dan lebih rajin berolahraga? Ajaklah teman anda ikut serta. Saya merasa lebih bersemangat ikut kelas yoga atau pergi berenang setiap kali ada teman yang mendampingi.

That’s What Friends Are (Really) For

Nampaknya kamu masih menyimpan amarah terhadapku. Katakan saja, jangan disimpan dalam hati”. Itu kalimat terakhir dari seorang sahabat yang telah kenal saya sejak 25 tahun yang lalu, sebelum telepon ditutup. Saya terhenyak karena memang betul saat itu sedang kesal sampai ke ubun-ubun, ada  rasa marah padanya karena sesuatu hal. Sadar bahwa  tidak pantas untuk marah dan mencak-mencak secara frontal,  saya berusaha untuk menekan semuanya dalam hati dan berusaha bersikap seolah-olah semuanya baik dan tidak ada apa-apa antara kami berdua. Termyata, bahasa tubuh tidak dapat diajak kompromi. Nada suara dan pilihan kata-kata yang keluar dari mulut saya, ternyata  mampu menyiratkan emosi yang sedang dirasakan. Dan hanya orang yang sudah kenal saya sampai ke tulang sumsum, yang dapat menangkap emosi  itu, bahkan dari seberang pulau sana. Itulah sahabat.

Teman saya tidak banyak tapi saya cukup beruntung memiliki sahabat-sahabat  yang dekat di hati (meskipun semua jauh di mata) dan tulus menyediakan bahu untuk menyandarkan kepala atau merelakan jam tidur malamnya terpotong hanya untuk berbalas chatting, mendengarkan keluh kesah saya. Dan yang saya butuhkan hanya didengarkan dan sekedar kata ‘sabar ya, kamu harus kuat’. Hanya itu… dan hati langsung plong.

Persabatan pertama saya terjalin ketika lulus SD dan hingga kini masih ‘on’ dan semakin matang dengan adanya ‘proyek aktualisasi obsesi’ yang kami kerjakan bersama dan menjadi wadah untuk tetap saling kontak. Di SMP, SMA dan seterusnya selalu ada teman-teman yang lekat di hati dan akhirnya menjadi sahabat hingga kini. Meskipun ada yang sempat terputus kontak hingga belasan tahun karena jarak dan tugas dalam keluarga, ternyata chemistry tidak hilang begitu saja. Ketika ada kesempatan saling kontak lagi, waktu dan jarak sudah tidak menjadi penghalang  (terima kasih untuk kemajuan teknologi) dan langsung kembali klik satu sama lain.  Hampir di setiap komunitas di mana saya terlibat, ada satu atau dua orang yang menjadi sahabat, lebih dari sekedar kenalan atau teman biasa. Persahabatan itu terus berkembang dan semakin matang seiring bertambahnya usia. Aset yang tidak ternilai dengan materi.

friends

Persahabatan diawali dari orang yang baru kita kenal dan berkembang dengan adanya interaksi antar individu. Hubungan interpersonal dalam konteks sosial dan budaya bervariasi dari keluarga, temannya teman, pernikahan, teman di tempat kerja, tetangga, teman dalam kelompok rohani, pekerja sosial dan lain sebagainya.  Hubungan antar individu bersifat dinamis, dapat berubah selama interaksi berlangsung dan memiliki awal, jangka hidup (lifespan) dan akhir.

Psikolog George Levinger, mengajukan teori yang cukup populer tentang hubungan interpersonal, menyebutkan  lima tahap dalam perkembangan suatu hubungan:

1.      Berkenalan

Perkenalan dengan orang baru dipengaruhi oleh kedekatan fisik, kesan pertama,  daya tarik dan faktor lainnya. Jika kedua individu merasa cocok, hubungan akan lanjut ke tahap berikutnya.

 2.      Membangun hubungan

Pada masa ini mulai ada rasa pecaya (trust) dan perhatian satu sama lain. Ada kebutuhan untuk mengenal lebih jauh dengan saling bertukar informasi tentang latar belakang, visi dan pola pikir.

3.      Kelanjutan hubungan

Tahap ini diikuti oleh adanya komitmen untuk mempertahankan hubungan agar bisa bertahan lama menjadi persahabatan, hubungan romantik atau pernikahan. Biasanya masa ini panjang dan relatif stabil. Yang paling penting dipupuk terus adalah rasa saling percaya satu sama lain.

4.      Keretakan hubungan

Tidak semua hubungan berlangsung mulus dan aman untuk diteruskan. Jika mulai timbul  rasa bosan,  tersinggung, ataupun ketidakpuasan, kedua individu cenderung untuk mengurangi intensitas komunikasi dan mengurangi kedekatan baik fisik ataupun psikis. Rasa percaya bisa saja hilang karena suatu masalah yang tidak dikomunikasikan secara terbuka sehingga timbul prasangka dan rasa curiga satu sama lain.

5.      Akhir hubungan

Tahap final ini menandakan berakhirnya hubungan, karena cekcok, kematian atau jarak /tempat keberadaan.

Persahabatan jangka panjang terjalin dari tahap 1 – 3 dan dipertahankan terus dengan intensitas komunikasi yang terjaga kualitasnya dan adanya keterbukaan antar individu. Jadi selama ada keterbukaan, masalah apapun ang timbul dapat dibicarakan bersama dengan hati dan kepala dingin untuk menghindari salah paham dan prasangka.

Intensitas komunikasi memberikan banyak masukan untuk kita dalam mengenal seseorang dan memampukan kita untuk mengantisipasi apa yang akan dilakukan orang tersebut jika ada suatu masalah. Tanpa diutarakan secara verbal dan langsung, kita dapat menebak makna yang tersirat dari sikap dan bahasa tubuhnya. Seperti kata seorang sahabat saya ketika melihat salah satu profile picture yang saya pajang di Blackberry:  “Aku bisa menangkap kesedihan dalam sorot matamu meskipun kamu tersenyum lebar di foto itu”. Setelah saya perhatikan dengan seksama, betul sekali. Pandangan mata itu kosong dan tidak ada binarnya meskipun senyum manis tersungging di bibir saya. Masa-masa itu memang kondisi saya sedang terpuruk dan ada saat dimana saya sempat menarik diri dari pergaulan.

Saya tidak akan pernah lupa siapa saja yang ada di sekeliling saya ketika berusaha untuk tegar dan kepala tetap tegak menghadapi konsekuensi dari suatu keputusan besar yang (terpaksa) harus saya ambil beberapa tahun yang lalu. Ada yang setiap hari dengan telaten menyapa  via bbm dan telepon di sela jadwal kerjanya yang sibuk, hanya untuk memastikan bahwa kondisi saya baik  dan tidak gamang. Sahabat yang lain berulang kali mengatakan: “Kapan saja kamu ingin curhat, butuh bantuan apapun, beritahu aku ya. Anytime.” Dan saya tahu itu bukan sekedar asbun (asal bunyi)  atau basa-basi karena mereka benar-benar stand by dan dengan sabar menemani saya.

Mengapa saya begitu mengidolakan sahabat? Bagaimana tidak, karena ketika berada di titik paling rendah dalam hidup, hangatnya persahabatan menyelimuti saya. Inilah yang saya dapatkan dari sahabat-sahabat itu:

          Kenyamanan berkomunikasi karena ada  rasa saling percaya dan keterikatan (attachment)

          Berani mengkritik dengan tegas sikap dan kelakuan saya yang kurang tepat, tanpa maksud menjatuhkan dan saya tidak merasa tersinggung atau marah sama sekali.

fri

          Mendengarkan dengan sabar segala bentuk uneg-uneg, yang mungkin membosankan

          Mampu membaca bahasa tubuh dan menangkap semua hal yang tersirat dari setiap kata   dan sikap

          Membantu saya berpikir dengan tenang tanpa diinterupsi dengan judgement yang memojokkan

          Meredakan emosi yang meluap

          Meyakinkan saya bahwa mereka akan selalu mendampingi . Saya tidak akan kesepian. Keyakinan ini membuat saya merasa aman dan  rasa gamang sirna.

friend

Ada satu posting yang cukup menyentuh di laman facebook  seorang teman baru saya:

Pernah di suatu hari belasan tahun yang lalu, aku memegang telpon, bunyi dengungnya sudah lama terdengar, tapi aku tak bisa memikirkan satu orang pun yg bisa kutelepon saat itu. Itu adalah saat yang paling sunyi… Aku lalu berjanji pada diriku sendiri, aku tak akan membiarkan seorang sahabatku merasa dia tak bisa bicara denganku ketika dia ingin didengarkan.

Saya mendadak terharu karena rasa sunyi itu tidak pernah merebak di hati. Selalu ada sahabat yang siap sedia mendengarkan dan menghangatkan hati. Semua jauh di mata tapi dekat di hati dan hanya dipisahkan oleh satu dering telepon atau deretan chats.That’s what friends are for.

fr